| Prabowo dan SBY |
Politik "nasi goreng" yang menjadi simbol
pertemuan SBY dan Prabowo, menjadi relevan jika dibandingkan situasi saat ini
yang dihadapi Jokowi.
Menuju Pilpres 2019, gorengan isu semakin gencar untuk
Jokowi. Mereka mengambil bumbu apa saja untuk di goreng, mulai dari kata ndeso
yang diucapkan Kaesang sampai masalah dana haji.
Awalnya saya pikir gorengan isu serampangan itu adalah tanda
kepanikan lawan. Dan ternyata akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa gorengan
isu itu dikerjakan secara sistematis untuk mengikis karakter Jokowi
perlahan-lahan.
Belajar dari kasus Ahok, ternyata model komunikasi dengan
menonjolkan kinerja pembangunan tidaklah efektif.
Kenapa? Karena masih banyak pemilih kita - bahkan di
Jakarta sekalipun - yang memilih pemimpin karena faktor emosional, bukan
rasional. Dan metode inipun dijalankan kembali untuk menghantam Jokowi.
Lihat saja, apapun yang dilakukan Jokowi - meskipun itu baik
- dipelintir sebagai senjata untuk menembak dia.
Contoh terbaik adalah ketika Jokowi ingin memberantas mafia
pangan dengan memperkarakan makelar beras besar seperti PT IBU. Tindakan yang
dilakukan pemerintah itu malah diputar 180 derajat menjadi tindakan yang
merugikan rakyat, khususnya petani. PT IBU malah menjadi pahlawan sedangkan
pemerintah menjadi penjahatnya.
Contoh lainnya lagi adalah dana haji.
Pengelolaan dana haji untuk infrastruktur yang sejatinya
mengekor suksesnya Malaysia mengelola Tabung Haji-nya, digoreng seolah-olah
Jokowi tidak amanah. Isu agama pun dipedaskan supaya Jokowi lebih tampak
sebagai komunis daripada seorang Islami, yang ingin para calon jamaah haji yang
sudah menabung bisa mendapatkan manfaatnya.
Masyarakat dibutakan dengan tindakan para penjual nasi
goreng yang dulu juga pernah memanfaatkan dana haji untuk investasi pada masa
kepemimpinannya.
Bahkan si penjual nasi goreng yang satu lagi - yang belum
pernah memimpin itu pernah berikrar jika menang dia akan memanfaatkan dana haji
- yang tercatat bernilai hampir 100 trilyun rupiah itu - untuk pembangunan
Indonesia.
Ini mirip dengan isu Sumber Waras, isu Ahok arogan sampai
isu Al Maidah 51, yang dihantamkan kepada Ahok untuk mengalihkan masyarakat
dari keberhasilan pembangunan yang dilakukannya..
Dan mereka berhasil. Keberhasilan ini harus mereka ulangi.
Kelemahan pemerintah Jokowi sebenarnya hanya satu, yaitu di
komunikasinya.
Para pejabat di Kementrian banyak yang tidak mampu
menjelaskan dengan sederhana apa yang mereka lakukan.
Contoh, pencabutan subsidi listrik.
Sebenarnya mudah mengkomunikasikan masalah pencabutan
subsidi listrik ini, yaitu dengan bahasa berbagi dengan saudara kita di daerah
lain yang belum kebagian listrik. Lucunya, pejabat PLN lebih senang
mengutak-atik angka ketika berbicara di publik.
Kerumitan hitungan ini menjadikan komunikasi tidak efektif
dan masyarakat tidak mendapat gambar besarnya. Inilah yang dimanfaatkan para
penjual nasi goreng untuk memelintir isu ke masyarakat bawah bahwa Jokowi tidak
berpihak ke rakyat..
Dan banyak lagi komunikasi yang tidak efektif dari
Kementrian seperti pembekuan aplikasi Telegram, pembubaran Perppu dan lain
sebagainya.
Karena tidak efektifnya komunikasi inilah, maka para penjual
nasi goreng berpesta pora dengan menyodorkan nasi goreng mereka kepada Jokowi.
Ada yang nasgor seafood, ada yang nasgor ikan asin, pete dan sebagainya. Kalau
bisa sepedas mungkin, biar Jokowi sakit perutnya..
Mungkin sudah saatnya pakde Jokowi mengumpulkan para
menterinya untuk bisa berkomunikasi dengan gaya bahasa sederhana seperti yang
dilakukan para Srikandi yaitu bu Susi, bu Retno dan bu Sri Mulyani. Atau kalau
perlu Menterinya wanita semua, karena wanita lebih komunikatif dalam menyampaikan
sesuatu dibanding pria. Sambil minum kopi biar lebih santai tentunya...