![]() |
Sidang Ahok |
Salah satu page tokoh yang
kuikuti adalah kepunyaan Kang Dedi Mulyadi. Pagenya si akang yang bupati
purwakarta ini lumayan menarik. Entah beliau menulis sendiri atau ada tim-nya,
tapi kadang ada hal baru yang kudapati disana.
Followernya sudah mencapai 5 juta
800 orang. Sudah mendekati angka mistik 7 juta orang yang -duluuu- kumpul di
Monas.
Ada satu tulisan terbarunya yang
lewat di berandaku.
"Sikap Pak Ahok kepada Pak
Kiai Ma'ruf Amin memang kurang beradab, dan harus diselesaikan secara beradab
secara tradisi kultur dan Yuridis".
Awalnya biasa aja, tapi jadi
ngikik sendiri baca komen-komennya. Kang Dedi diserang oleh banyak ahoker
karena menulis Ahok "kurang beradab". Rata-rata mereka tidak terima
jagoannya dibilang kurang beradab.
Setahu saya kang Dedi adalah
teman dekatnya Ahok. Mereka punya pemikiran yang sejalan dan sama "gila
kerja". Dan tulisan itu -dari sisi pandang saya- adalah surat teguran
sayang dari seorang sahabat.
"Kurang beradab" disini
yang dimaksudkan kang Dedi kepada Ahok adalah Ahok harus mulai bisa menempatkan
dirinya. Ahok harus bisa melihat dengan siapa ia bicara.
Kultur NU dalam menghormati orang
yang lebih tua -apalagi ia seorang ulama- masih sangat kuat. Dan biar
bagaimanapun KH Maruf Amin yang juga Ketua MUI itu adalah ulama di kalangan
mereka.
Ada ketersinggungan sebagian
warga nahdliyin ketika mereka melihat seorang ulama sepuh dibentak oleh seorang
muda seperti Ahok.
Disinilah kang Dedi melihat Ahok
"kurang beradab" alias kurang menempatkan dirinya dalam berbicara
kepada orang yang sudah sepuh dan dianggap ulama oleh banyak orang. Kang Dedi
sebagai seorang sahabat mengingatkan sahabatnya untuk bersikap lebih baik.
Beda kalau menghadapi koruptor,
misalnya. Kalau bisa gamparin aja. Dan saya setuju. Ahok sebagai
seorang tokoh harus mulai belajar bijak melihat situasinya, karena ketika kita
tidak mampu menempatkan diri di hadapan orang lain, kita sendiri yang akan rugi
jadinya.
Tapi "Ahoker die hard"
tidak bisa melihat itu lebih luas. Kuping mereka juga ternyata sama tipisnya
dengan lawan mereka. Ada seperti pemujaan sosok yang berlebihan sehingga sulit
menerima sebuah teguran, meski itu dari sahabat sang idola.
Fanatisme berlebihan memang
kadang membuat orang menjadi tidak rasional. Sumbunya ikut-ikutan pendek, meski
anunya masih agak panjang. Maksudnya, jarinya.
Dan memang ilmu paham itu sulit,
apalagi memahami sebuah tulisan. Tafsiran orang bisa berbeda.
Seperti membaca tulisan Enny
Arrow dengan imajinasi yang berbeda pada masing-masing pembacanya. Ada yang
suka yang gendutan, ada yang suka barbelnya besar, meski nama pemerannya sama,
yaitu tante Sonja.
Mungkin tafsiran saya juga
berbeda membaca tulisan "Ahok kurang beradab" itu. Tapi melihat latar
belakang pertemanan mereka, saya yakin saya menafsirkannya dengan benar.
Dan terakhir saya dengar, KH
Maruf Amin sudah menerima Ahok dan memaafkannya. Begitulah adab dalam kultur NU
yang bukan pendendam.
Semoga kedepannya kita bisa lebih
baik dan tidak mudah terbawa gorengan isu kemana-mana. Sambil minum kopi saya jadi
teringat sesuatu, dan menjadi pertanyaan besar saya sejak SMP. "Kenapa
pemeran laki di buku Enny Arrow itu selalu bernama Johan ya?". Tidak pernah ada jawaban, selalu
menghilang seperti seruputan dalam secangkir kopi.