![]() |
Dedi Mulyadi |
"Ke Cikini dong. Gua lagi
ngadain acara nih.." begitu pesan seorang teman lewat whatsapp. Liat
pembicaranya menarik juga, disana ada Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta, yang
diundang sebagai 'tokoh pluralis". Maka jreeeng meluncurlah saya kesana.
Duduk disudut yang tidak diperhatikan
saya menyimak setiap kata-katanya ketika ia berbicara. Kang Dedi itu orang
desa. Ia kecil dan tumbuh di desa. Ia adalah saksi mata dari bagaimana
kerukunan itu tumbuh bukan dari kekuatan agama, tetapi bagaimana ikatan adat
menjaganya.
Dulu sekali, para pemangku adat
dan tokoh desa, selalu mengajak warganya gotong royong membangun jalan,
membangun rumah warga sampai makan bersama. Dengan selalu bertemu bersama, maka
terciptalah kerukunan itu tanpa memandang suku, ras dan agama..
Begitu masuk era sekarang, agama
mencoba mengambil alih peran budaya bangsa. Muncullah ustad-ustad baru,
ulama-ulama baru sebagai rujukan. Ndilalah, agama dipakai sebagai topeng untuk
mengumpulkan massa.
Pemerintah pusat dan daerah pun
mengambil kebijakan salah. Mereka -demi meraup suara- mengucurkan dana ke
pesantren-pesantren dan majelis-majelis taklim. Pemangku adat dan tokoh desa
tersisih. Mereka harus mundur karena zaman sudah tidak menginginkan mereka.
Dampak negatif kemudian
bermunculan. Para tokoh agama di setiap daerah muncul bukan lagi sebagai ulama,
tapi sebagai mesin dana. Mereka hidup dari uang hasil sumbangan politikus yang
ingin suara mereka. Bukan itu saja, mereka tetap mengutip sumbangan dari warga
yang ingin belajar agama ke mereka.
Akhirnya monetizing agama pun
berjalan. Warga miskin disuruh umroh terus supaya para ustad dapat penghasilan
tambahan. Kalau yang miskin mengeluh, mereka disuruh sabar dan ngaji terus
supaya Tuhan membukakan jalan. Semakin miskin mereka karena waktu mereka hanya
dipakai untuk mengeluh kepada Tuhan mulai pagi, siang sore sampai malam.
Karena miskin, mereka menjadi
bodoh. Dan semakin bodoh mereka, semakin taklid pada ustad yang -bagi mereka-
dianggap sebagai jalan menuju perubahan hidup. Gotong royong pun hilang, orang
terkonsentrasi ke majelis-majelis, ke masjid-masjid yang dibangun sebagai base
camp. Tidak ada lagi pluralisme, yang ada hanya kelompok yang seragam.
Semakin lama akar masalah semakin
dipelihara. Akar budaya kita semakin lemah dan ingin digantikan budaya timur
tengah. Bayangkan, orang lebih suka membangun rumah ibadah daripada gorong
royong membangun jalan untuk semua. Dengan doktrin membangun rumah ibadah sama
dengan membangun rumah di surga, masyarakat pun terkotak-kotak.
"Jadi disitulah akar
masalahnya.." Gumamku dalam hati sambil menghirup secangkir kopi. Pantas
kehidupan masa kecilku seperti hilang, karena banyak orang dagangan agama yang
lebih menjamin penghasilan.
Kang Dedi bercerita tentang
bagaimana ia membangun kembali kultur pedesaan yang sudah lama hilang. Tapi
gerakan yang dia lakukan tidak mendapat banyak tanggapan, karena orang lebih
suka dengan berita dari kota besar.
Jakartasentris, Bandungsentris,
Surabayasentris, lebih disukai daripada melongok sedikit saja ke daerah kecil
seperti Purwakarta. Pantaslah, mereka yang memimpin di kota besar lebih mudah
mencitrakan diri dengan kosmetik tebal daripada mereka yang benar-benar bekerja
di tempat yang tidak banyak terlihat.
Saya kemudian berfikir, "Iya
juga ya, bagaimana bisa orang kota -bahkan yang lama menempuh pendidikan di
luar negeri- bisa menyelesaikan akar masalah di negeri ini jika mereka tidak
mengenal karakter Indonesia dengan baik?
Para penyandang gelar dari
universitas-universitas luar negeri itu, hanya mampu menjalankan konsep
pemerintahan sesuai ilmu di negara yang mereka tinggali selama ini. Akhirnya
konsep kapitalis yang mereka dapat disana, dibawa ke Indonesia. Indonesia menjadi
negara kapitalis dengan sendirinya, tanpa pernah tahu akar leluhurnya.
"Intoleransi itu tumbuh
karena kita durhaka pada leluhur.." Tegas Kang Dedi. Di semua kota besar,
kita sudah tidak lagi bisa melihat Indonesia sebenarnya. Budaya kita tersingkir
di museum-museum yang bahkan jarang dikunjungi karena tidak menarik.
Saya harus angkat secangkir kopi
tinggi-tinggi kepada daerah besar seperti Bali dan Jogja, yang mampu menjaga
adat dan budaya mereka dengan baik -dengan mempertahankan ciri mereka melalui
bangunan-bangunan disana- sehingga tidak tergusur budaya luar.
Karena negara kita sudah
kehilangan jati dirilah, kaum intoleran yang berbaju agama punya amunisi untuk
menyerang.
Kuangkat secangkir kopi, sudah
siang saatnya pergi. Terimakasih Kang Dedi, sudah mengingatkanku akan
"siapa sebenarnya aku ini.."
Mungkin memang, sudah saatnya
orang desa yang memimpin negeri ini. Orang yang mengenal akar budaya kita
dengan baik dan mengembalikan kita pada diri kita yang sebenarnya, yang sangat
toleran. Seruput...