![]() |
Jilbab |
"Semoga kamu dapat hidayah,
ya".
Begitu celetukan teman-teman
wanita kepada temannya yang belum memakai jilbab. Ini cerita pada waktu reuni
teman-teman yang sudah lama tidak bertemu.
Aku tersenyum mendengar
percakapannya. Dan kulihat teman yang belum memakai jilbab itu merasa
terintimidasi karena hanya dia sendiri yang belum berjilbab.
Apa arti hidayah sebenarnya? Saya
dulu mencari-cari definisi yang tepat dan ketemu dengan kata petunjuk. Petunjuk
dari Tuhan. Bagaimana cara Tuhan memberi petunjuk? Jangan-jangan apa yang kita
kira petunjuk, ternyata bukan. Wong Tuhan itu Maha.
Ada penjelasan logika dari
seorang teman ketika kami berbincang di warung kopi.
"Dalam diri manusia itu ada
sesuatu yang istimewa yaitu akal. Di akal inilah Tuhan memberi nikmat dan juga
memberi siksa. Siksa bukan dalam artian Tuhan itu kejam, tetapi lebih kepada
memberi sebuah jalan supaya manusia bisa berfikir bahwa nikmat itu adalah
segalanya. Dan nikmat yang paling hakiki adalah ketenangan jiwa".
Kulihat ia menyeruput kopinya.
Menarik, pikirku.
"Pada intinya, manusia
sendirilah yang menciptakan nikmat dan siksa dalam akalnya. Ketika ia berbuat
buruk, maka ia menyiksa dirinya sendiri dengan ketakutan. Begitu juga sebaliknya.
Nah, akal menemukan fase
pembelajaran melalui rangkuman dari peristiwa-peristiwa. Sama seperti belajar
di sekolah punya tingkatan-tingkatan dalam menyerap ilmu. Sama seperti seorang
karateka yang diberi sabuk sesuai tingkat kemampuannya.
Hanya, selain akal manusia juga
mempunyai sisi buruk dalam dirinya yaitu nafsu. Nafsu inilah yang menutup akal.
Seperti awan gelap yang menutupi bumi. Ketidak-mampuan manusia menggunakan akal
adalah karena ia memperbesar nafsunya. Semakin besar nafsu, semakin gelap
akalnya. Pada fase akalnya tertutup inilah manusia seperti berjalan di labirin,
ia berputar-putar di ruang yang tidak mampu ia kenali.
Disinilah dbutuhkan hidayah atau
petunjuk. Hidayah itu bukan sesuatu yang tiba2 datangnya, ia harus dicari
melalui berbagai macam usaha.
Faktor terpenting manusia
mendapatkan petunjuk adalah ketika ia menurunkan nafsunya. Dan akar dari nafsu
adalah kesombongan. Dengan menurunkan kesombongan, setahap demi setahap kabut
tebal yang mengungkungi akal akan tersingkap dan manusia bisa melihat semuanya
dengan lebih jelas, lebih jernih dalam menyikapi persoalan.
Begitulah konsep hidayah..
Yang bermasalah adalah ketika
manusia mencari petunjuk berdasarkan nafsunya. Ia merasa mendapat hidayah, tapi
sebenarnya tidak. Nafsunya yang mengatakan bahwa dirinya mendapat hidayah. Darimana
kita tahu bahwa ia begitu? Ketika ia masih sombong dalam menjalankan apa yang
dia sebut hidayah".
Ah, aku mengerti. Pada intinya,
manusia ketika ingin mendapatkan pelajaran yang tinggi harus menekan nafsunya
sehingga ilmu yang datang bisa masuk padanya.
Seorang karateka sabuk putih
ketika ia belum lengkap ilmunya, cenderung petantang petenteng kemana-mana
karena merasa berilmu. Beda dengan yang sabuk hitam yang merasa ilmunya harus
disimpan dan dipergunakan sesuai waktunya, karena jika ia menggunakannya sembarangan
efeknya bisa mematikan.
Ilmu itu menekan kesombongan...
Aku berterimakasih padanya akan
penjelasan sederhananya. "Aku yang traktir kopi.." kataku dengan
bangga. Akhirnya aku bisa juga traktir kopi seseorang. "Buat apa?"
Kata temanku. "Lha aku kan pemilik warungnya".
Hari berlalu dan di facebook
kulihat teman wanitaku yang dulu, ternyata sudah berjilbab. Sekarang ia senang
memposting ayat-ayat di wallnya juga di grup WA. Ia pun sering berkata,
"Semoga kamu mendapat hidayah".
Ilmu itu seperti secangkir kopi.
Menyeruputnya harus dengan kesadaran tingkat tinggi. Jika ilmu belum penuh dan
memaksakan diri, yang terjadi adalah kesombongan memenuhi akalnya kembali.
Seruput.