![]() |
Kebenaran |
Pada masa pemerintahan
kekhalifahan Ali bin abu thalib, beliau diserang. Yang menyerang pemerintahan Imam
Ali bukan yahudi dan nasrani, tetapi kawan-kawan seperjuangan beliau ketika
masih bersama Rasulullah Saw. Perang ini terkenal dengan nama perang Jamal atau
perang unta.
Perang saudara ini membingungkan
banyak orang, "saya harus berpihak kemana?". Isu-isu bertebaran
semakin tidak jelas mana yang benar dan mana yang salah.
Akhirnya salah seorang sahabat
tidak tahan dan bertanya kepada Imam Ali, "Wahai Imam.. manakah yang benar?
Disana ada Aisyah (istri Nabi)
juga para sahabat Nabi yang dulu berperang denganmu. Sedangkan disini ada
engkau dan para sahabatmu yang juga berperang bersama mereka dulu. Lalu,
manakah yang benar?"
Imam Ali dengan bijak menjawab,
"Engkau salah, wahai sahabat. Engkau mengukur individu-individu dulu baru
mencoba menetapkan siapa yang benar.
Kenalilah kebenaran itu dulu,
baru lihatlah siapa individu yang berada di belakangnya.."
Dari peristiwa perang Jamal ini,
Imam Ali mengajarkan para sahabatnya untuk berlaku obyektif, melihat lebih
jelas permasalahan baru menentukan sikap. Bukan malah condong kepada sosok atau
subyek tertentu dalam menentukan sikap.
Melihat "apa" dan bukan
"siapa".
Sejarah yang terjadi ribuan tahun
lalu adalah sebuah pembelajaran bagaimana menentukan sebuah sikap ketika
terjadi perbedaan pendapat. Menentukan sebuah sikap adalah hal yang wajib,
karena ketika kita mengenal mana yang benar dan mana yang salah, netral adalah
kebodohan yang mendasar.
Begitulah ketika saya mengenali
situasi Suriah awalnya. Saya membaca dulu banyak pandangan berbeda, mengasah
akal dalam melihat peristiwa, baru menentukan sikap. Saya tidak ingin terjebak
dalam gelombang fitnah kepada orang yang tidak bersalah..
Dan begitu jugalah ketika saya
melihat pilgub DKI. Ini bukan masalah Ahok-Jarot atau Anies-Sandi. Ini masalah
apa yang pernah mereka lakukan dan siapa orang-orang di belakang mereka...
Dan percayalah, kewarasan pasti
berlawanan dengan kegilaan. Dan saya berpihak pada akal waras, karena saya
menolak gila apalagi jika itu mengatas-namakan agama..
Seperti secangkir kopi. Ia
harusnya diseruput dalam kondisi tenang dan menikmati..
Bukan malah dikunyah tatakannya..