![]() |
Ahok |
Saya masih ingat dulu ada ajang
adu vokal pertama kali di Indosiar. Namanya
Akademi Fantasi. Meskipun judulnya adu vokal, tetapi latar belakang pesertapun
dijadikan bahan. Dan akhirnya kita melihat bahwa yang menang -berdasarkan voting
penonton- ternyata bukan karena kualitas vokal, tetapi karena kasihan melihat
latar belakang pemenang yang anak tukang becak.
Begitu banyak tayangan baik itu
sinetron dan ajang adu-aduan
yang lebih mengandalkan jualan emosi daripada rasionalitas. Dan selama puluhan
tahun kita dicekoki oleh tayangan yang mengaduk emosi mulai dari ketakutan
lewat film kuntilanak dan airmata yang terkuras seorang ibu yang dizolimi anak
kandung.
Pengaruh itu terasa sampai
sekarang..
Dan dari semua perkiraan kenapa
Ahok kalah, buat saya perkiraan inilah yang terbaik. Bahwa pemilih di Jakarta,
seberapapun modern-nya ia sehari-hari, tetap saja ia adalah penonton sinetron
ala Raam Punjabi.
Ada yang tidak memilih karena
terpengaruh tidak seiman. Ada yang tidak memilih karena terpengaruh penistaan
agama. Bahkan di kalangan Chinese
perkotaan yang mapan, banyak yang tidak memilih karena ditakut-takuti akan
terulang lagi peristiwa 98.
Politik kita masih politik
emosional, bukan rasional. Itulah kenapa seberapa bagusnya pun jualan program
yang menaikkan tingkat kepuasan terhadap kinerja seorang Ahok, tidak
mempengaruhi tingkat elektabilitas atau keterpilihan dia. Ahok tidak terpilih
karena emosional bukan rasional.
Kekalahan Ahok mirip dengan kekalahan
Hillary Clinton yang lebih jualan rasionalitas daripada emosional seperti
Trump. Trump berhasil menang karena menjanjikan menaikkan kembali kebanggaan
dan kepemilikan Amerika hanya untuk orang Amerika.
Disinilah celah yang dilupakan
banyak orang, bahkan tidak terpikirkan. Kita masih belum sampai pada taraf
jualan keberhasilan program-program. Ahok boleh populer, tetapi tidak menjamin
ia dipilih karena ia tidak mampu menjual emosi.
Timses Ahok yang banyak berasal
dari kalangan perkotaan dan terpelajar belum mampu turun ke bawah dan menggali
sisi emosional pemilih dengan tingkat pendidikan yang rata-rata. Kalaupun
akhirnya mereka sadar, seperti saat mencoba menaikkan Djarot untuk menggali
emosi, sudah terlambat karena orang sudah punya keputusan untuk memilih.
Dan model ini juga yang banyak
diterapkan di banyak pemilihan kepala daerah. Tinggal survey apa yang
dibutuhkan mereka, dan gali sisi emosionalnya. Makanya banyak kepala daerah
yang terpilih bukan karena kapasitasnya tetapi karena mampu bermain di sisi
emosional pemilihnya.
Ini juga akan berlaku di pilpres
2019 nanti...
Dulu - di 2014 - Jokowi dan
Prabowo memainkan sisi emosional pemilihnya. Jokowi sebagai seorang yang bukan
siapa-siapa melawan Prabowo yang ada apa-apanya. Dan menangnya Jokowi karena ia
mewakili banyak orang yang bukan siapa-siapa dan mengharapkan akan membela
mereka. Emosi kalangan "bukan siapa-siapa" ini berbaur dengan emosi
mereka yang ingin perubahan secepatnya.
Meski begitu, Jokowi mesti
berhati-hati di 2019 nanti, karena ia sekarang bukan lagi orang yang
"bukan siapa-siapa".
Belajar dari kasus Ahok, Jokowi
akan sulit jika hanya jualan program apa yang sudah dibangunnya. Ia akan
diserang oleh lawan dengan membangkitkan sisi emosional masyarakat kelas bawah
yang ketakutan akan bangkitnya PKI, meski buat kita yang rasional PKI itu sudah
mati.
Strategi membangun emosi para
pemilih Jokowi harus dirancang mulai sekarang. Jangan kebanyakan nonton film
Hollywood, sekali-sekali orang dibelakang Jokowi harus nonton sinetron
Indonesia biar tahu bagaimana suksesnya mereka menaikkan rating dengan modal
hanya jualan emosi saja.
Bahkan televisi sekelas TV One
yang dulu jualan berita, gak kuat bertahan sehingga harus melacurkan diri untuk
jualan sinetron yang murah meriah yang penting banyak airmatanya.
Ya, mungkin dibangun cerita
dimana Jokowi sakit kanker serviks sehingga tubuhnya yang dulu gemuk menjadi
kurus kering dan akhirnya sembuh dengan kegigihannya. Atau Jokowi pernah
dipenjara ketika ia terpaksa mencuri hanya karena supaya dapat makan sehari dan
mengasuh ibunya yang terbaring di rumah tak berdaya.
Menggelikan ya? Tapi, masih
begitulah kualitas masyarakat kita. Meskipun buat kita yang rasional ini
model-model begitu menggelikan, tapi -apa mau dikata- model gituan yang laku
dan ratingnya tinggi.
Sambil seruput kopi saya geli
sendiri membayangkan Ahok yang kaku itu tiba-tiba harus berperan menjadi tukang
sayur untuk meraih simpati para pemilih.
Kok saya jadi ingat mantan
Jenderal yang dulu bareng pak Hari saat Pilpres tiba-tiba muncul jadi satpam
dan tukang becak ya? Kalau itu memang terlalu nggilani. Penonton sinetron pun
pasti pindah channel kalau tayangan begituan diulang lagi.