![]() |
Khilafah |
Tulisan ini saya buat bukan untuk
menjatuhkan, tetapi sekedar mengingatkan. Saya pernah menulis tentang Indonesia
menuju Suriah, dimana negara kita tanda-tandanya sedang menuju ke arah sana.
Seperti Suriah, Indonesia seperti bara dalam sekam ketika memelihara banyak
kelompok ekstrim berbaju Islam di dalam negara.
Kelompok-kelompok ini mendapatkan
banyak keuntungan. Atas nama agama, mereka berkembang karena kebutuhan politik
dan politisi yang memanfaatkan mereka. Miliaran rupiah dana masuk ke kantong
ormas agama melalui masjid-masjid, majlis taklim, pengajian sampai ke acara
pengumpulan massa seperti dzikir bersama.
Dengan mengalirnya dana ke kantong
ormas agama, para pemain politik dan politikus memastikan bahwa mereka didukung
oleh "umat Islam" yang menjadi kekuatan terbesar di negara ini.
Situasi ini sudah berlangsung
puluhan tahun lamanya dan mereka -para ormas agama- itu berkembang biak dengan
menjual ayat sesuai kepentingan pembelinya. Mereka juga meraih banyak pengikut
dan simpatisan yang sedang mencari "petunjuk" dengan menggelar
pengajian dan mimbar-mimbar Jum’at di masjid mereka.
Ketika dunia global berubah
sesuai gerakan arab spring di timur tengah, Indonesia pun tidak luput dari api
panasnya.
Ormas-ormas agama yang sudah lama
terbentuk itu, dicekoki dengan paham "pendirian negara Islam". Mereka
kemudian bereaksi untuk bergerak bersama kelompok ekstrim dari timur tengah
untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, dengan mengangkat kembali isu
Negara Islam Indonesia atau NII.
Situasi itu menciptakan simbiosis
mutualisma baru antara mereka dan politikus yang mempunyai kepentingan berkuasa.
Sulit memastikan siapa yang menunggangi dan siapa yang ditunggangi. Ada agenda
besar yang diciptakan setahap demi setahap menuju kesana.
Pilgub DKI 2017 ini seperti kotak
pandora, membuka baju siapa mereka sebenarnya..
Model intimidasi melalui mimbar Jum’at,
gerakan aksi massa besar mengatas-namakan pembelaan agama, shalat subuh politik
berjamaah sampai tidak menshalatkan jenazah dan penggunaan ayat dalam bungkus
roti, kotak sabun dan tamasya politik, adalah gerakan-gerakan yang diciptakan
menunjukkan kebangkitan mereka.
Kelompok pecinta khilafah ini
sebenarnya tidak perduli siapa pemimpin daerah yang mereka usung nanti. Buat
mereka, siapapun yang mau ditunggangi itulah yang akan mereka pilih. Dengan
memanfaatkan dukungan massa, mereka akan menyetir kebijakan-kebijakan pemimpin
daerah yang mereka usung nanti.
Contoh terbaik yang bisa kita
lihat adalah Bogor.
Saat pembubaran peringatan Asyura
oleh kelompok bermazhab Syiah, kita melihat bahwa dibelakang Walikota Bogor itu
ada kelompok garis keras seperti HTI. Bima Arya seperti tidak berdaya untuk
menekan mereka karena ia membutuhkan suara mereka. Maka ia harus mengikuti
apapun kepentingan ormas agama asal ia tetap bisa berkuasa.
Dan ini banyak terjadi di wilayah
Jabar yang dibangun dengan konsep agamis. Wajarlah jika survey Wahid Institute
menobatkan Jawa Barat sebagai provinsi paling intoleran se-Indonesia.
Penguasaan terhadap Jabar tentu
tidak lengkap jika tidak menguasai Jakarta. Karena itu para ormas khilafah ini
mencari pemimpin yang lemah, yang berorientasi pada kekuasaan untuk mereka
dukung dan mereka tunggangi. Pilihan mereka jatuh pada Anies Sandi yang sedang
berambisi dengan berbagai cara untuk menjadi orang nonor satu di Jakarta.
Jadi kita bisa bayangkan apa yang
akan terjadi jika Anies-Sandi menang nanti..
Dana-dana pembangunan akan
mengalir ke ormas-ormas agama. Peraturan daerah akan berpihak kepada mereka.
Terancamnya kebhinekaan karena pelarangan beribadah. Razia-razia atas nama
syariah akan kembali marak di Jakarta.
Dan itu baru pintu gerbang saja,
karena serangan sesungguhnya akan diarahkan ke pusat pemerintahan. Ibarat
menguasai Jakarta sama dengan menduduki areal sekitar istana. Mereka akan
mengumpulkan kekuatan logistik disana untuk agenda sesungguhnya..
Melihat Pilgub Jakarta memang
harus bisa membaca gambar besarnya. Karena disanalah kita bisa melihat
pola-pola yang sama yang diterapkan di negara-negara rawan konflik di timur
tengah.
Karena itu, jadikan Pilgub
Jakarta ini sebagai medan perang. Karena hasilnya nanti akan sangat berpengaruh
dengan apa yang terjadi ke depannya nanti. Saya akan terus kawal sambil seruput
secangkir kopi.