![]() |
NU |
Pilgub DKI 2017 selesai sudah.
Meski belum resmi, tetapi sudah bisa diprediksi bahwa Ahok kalah.
Saya selalu melihat suatu masalah
secara global. Begitu juga apa yang terjadi di Jakarta. Apa yang terjadi di
Jakarta, kita tahu bahwa ini bukan tentang Ahok vs Anies saja. Tetapi jauh
lebih besar dari itu. Ini sebenarnya adalah pertarungan kelompok nasionalis vs
radikal.
Saya setuju dengan pandangan Gus
Tutut, Ketua DPP GP Anshor Jakarta, "Kami sangat menolak calon gubernur
yang didukung Islam radikal dan Islam garis keras".
Meskipun pernyataan itu agak
telat, karena baru diucapkan beberapa hari sebelum pemilihan, setidaknya saya
bisa melihat NU -dalam hal ini Ansor- sudah bisa mengidentifikasi situasi.
Gerakan-gerakan Ansor di
beberapa daerah seperti di Jatim dan Jateng dalam menghalau kelompok Islam
garis keras adalah bukti bahwa NU sudah mulai menyadari ada yang salah di
negeri ini.
Kalau kita melihat pola gerakan
Islam garis keras, disana kita melihat kesamaan. Mereka tidak penting siapa
calon pemimpin yang mereka dukung. Tetapi bisa dilihat bahwa mereka selalu ada
di belakang calon pemimpin yang tidak berkarakter, lemah dan tidak tegas,
kompromistis dan ambisius.
Pada calon pemimpin dengan model
seperti itulah mereka berkembang biak karena mudah menungganginya.
Islam garis keras dengan baju
HTI, FUI, FPI dan segala macam lainnya itu sebenarnya punya agenda tersendiri.
Tujuan jangka panjangnya adalah KHILAFAH.
Tetapi mereka tahu bahwa mereka
harus bisa menunggangi situasi dulu, sambil berkembang menyebarkan virusnya
kemana-mana. Mereka harus menguasai pemerintahan, parlemen sampai elemen-elemen
masyarakat yang tidak mengerti bagaimana agenda mereka sebenarnya.
Dan pada titik tertentu, disaat
semuanya tepat, disaat mereka merasa sudah berhasil menguasai banyak wilayah,
mereka akan membuka baju mereka.
Cara mereka bisa kita lihat
dengan telanjang melalui peristiwa kampanye di Jakarta. Mereka menguasai
masjid-masjid baik yang besar dan yang kecil, kelompok-kelompok pengajian,
sampai sekolah mulai PAUD dan Universitas dengan menaikkan kebanggaan akan
golongan.
Politisasi di semua lini
-termasuk di masjid- sudah mewabah begitu kencang. Mereka bahkan berani
memainkan ayat dan mayat untuk mencapai tujuannya.
Kemenangan mereka di Jakarta akan
menjadi tolak ukur apa yang akan mereka lakukan juga di daerah-daerah
selanjutnya dalam ajang pemilihan kepala daerah. Kita nanti akan banyak melihat
model-model kampanye seperti di Jakarta, karena dengan begitu mereka memperoleh
kemenangan yang nyata.
Mudah sebenarnya melihat mana
yang benar dan mana yang salah. Dimana mereka berkumpul, dibalik sosok atau
tokoh tertentu, disitulah sebenarnya letak masalah. Dari identifikasi awal ini sebenarnya
-kita yang melawan ideologi mereka- harus berada pada posisi yang
berseberangan, di lawan mereka.
Tidak mudah melawan mereka,
tetapi mudah memancing keberadaan mereka. Pancing emosi mereka. Dan ketika kita
dituding kafir, munafik dan sebagainya, berarti kita sudah berada pada posisi
yang berseberangan dengan mereka.
Perang dengan mereka tidak perlu
mengandalkan fisik karena itu yang mereka mau untuk memperkeruh suasana. Tetapi
kita melawan dengan konstitusi, mendukung tokoh dan sosok yang dilawan mereka.
Karena itu, dalam setiap
pemilihan kepala daerah selanjutnya, semoga kita bisa belajar dari peristiwa
Jakarta. Dan NU -juga elemen-elemen di dalamnya seperti GP Ansor dan Banser-
sudah mulai bisa mengidentifikasi diri harus kemana.
Tidak perlu bermain politik
praktis, tetapi mendukung pemimpin yang tidak didukung kelompok intoleran
adalah perjuangan yang sesungguhnya.
Rebutlah masjid-masjid yang dulu
direbut mereka. Satukan barisan dalam satu komando dengan tujuan mempertahankan
persatuan dan kesatuan negara. Negeri ini terlalu indah untuk harus
diseragamkan dalam konsep khilafah.
NU adalah lapisan terakhir
Indonesia yang masih berdiri gagah, meski sekarang di internalnya pun masih
bergulat dengan kaum intoleran. Tetaplah moderat dan menjadi acuan bagi seluruh
agama di Indonesia.
Karena Islam mayoritas
sesungguhnya adalah NU dan bukan mereka..
Semoga secangkir kopi pahit yang
tersuguh hari ini menyadarkan bahwa selalu ada makna dalam peristiwa yang
diberikan Tuhan kepada kita.
Seruput..