Ahok |
Dalam sebuah strategi
pertarungan, tidak ada rencana yang sempurna. Hasil akhirnya adalah menang atau
kalah, memakan atau dimakan..
Langkah catur Jokowi melepaskan
Ahok ke pengadilan dengan mentersangkakannya, berbuah pahit.
Jokowi ingin melakukan
pembelajaran hukum tanpa intervensi. Jika masih ditangan Polri yang masih dalam
otoritas Presiden, tentu akan banyak tudingan mengarah padanya.
Melepaskan Ahok ke jalur
pengadilan sebenarnya adalah strategi yang bagus. Apalagi dengan model
pengadilan tetbuka dimana setiap mata bisa melihat proses-prosesnya.
Pengadilan yang telanjang dengan
hadirnya saksi-saksi yang memberatkan dan meringankan membuat kita menjadi
paham seperti apa yang terjadi di dalam ruang sidang.
Dan kita tergelak melihat banyak
saksi yang sebenarnya bukan saksi mata berbuat seolah-olah dia ada di tempat
kejadian perkara. Dagelan sidang dengan saksi yang tidak capable yang dihadirkan
jaksa penuntut, membuat kita tersenyum berbulan-bulan dan mentertawakan banyak
kejanggalan.
Jaksa penuntutpun -mungkin-
akhirnya menjadi jengah sendiri. Dengan tuntutan yang setengah hati hukuman 2
tahun percobaan dan tidak memasukkan Ahok ke penjara adalah sebuah posisi aman.
Dan harapan pun berkibar. Sebuah
pendidikan revolusi mental berjalan.
Sampai disini Jokowi berhasil
menjalankan strateginya meredam suasana sambil terus fokus kepada pembangunan
infrastruktur di banyak wilayah..
Sayangnya, revolusi mental belum
sampai kepada hakim di pengadilan. Keputusan yang jauh lebih berat dari
tuntutan jaksa pun dijatuhkan.
Banyak yang terperangah terhadap
keputusan yang sangat tidak adil itu. Bagaimana bisa Ahok yang dalam setiap
persidangan mementahkan tuduhan menista agama, tiba-tiba dijatuhi hukuman yang
berat itu ?
Saya pun terperanjat habis.
"Keputusan gila.." teriak saya di terik panas matahari. Seakan akal
sehat saya dibenturkan pada kenyataan bahwa ketidak-warasan adalah hukum yang
harus diterima.
Saya yakin, Jokowi pun sedih
melihat bahwa ternyata perjalanan kita dalam revolusi mental ini masih sangat
panjang. Hakim tidak berani memutuskan dengan objektif dan masih terpengaruh
besar terhadap tekanan massa seperti yang dulu dihadapi oleh para terdakwa
penistaan masa orba.
Pengadilan pun berjalan mundur ke
sekian puluh tahun lalu. Ternyata mental-mental lama masih menghiasi wajah
pengadilan kita, tempat kita banyak berharap ada keadilan disana.
Dan dalam perjalan pulang, saya
mampir ke sebuah warung makan. Disana banyak anak-anak muda berpakaian putih,
gamis dan beberapa bercelana cingkrang membawa bendera hitam dan putih menanti
para pendukung Ahok pulang.
Sesekali mereka melakukan
provokasi dan hampir saja terjadi benturan sebelum polisi masuk ke tengah dan
memisahkan mereka.
Saya menggeleng sedih melihat
wajah pemuda kita yang berusia belasan tahun itu. Teriakan AllahuAkbar bergema
dari mulut mereka, keras tapi tanpa ruh dan tujuan. Saya jadi ingat video di
Youtube dengan wajah dan pakaian yang sama, ISIS dan Jabht al Nusra melakukan
pembantaian.
Masih panjang perjalanan kita.
Masih sangat panjang dalam mencerdaskan bangsa yang sudah terbodohi dan jauh
dari sejahtera selama puluhan tahun lamanya.
Kuseruput kopiku dan keluar dari
rumah makan itu melewati mereka yang menatapku sambil berbisik dengan temannya.
Mungkin mereka "agak kenal".
Aku tidak perduli. Kesedihanku
lebih besar dari rasa marahku. Rasanya lelah dengan semua ini, tapi harus
dijalani dengan segenap hati.
Setidaknya mengingat apa yang di
alami Ahok, aku terhibur sendiri bahwa apa yang aku lakukan tidak ada
apa-apanya dibandingkan apa yang dia alami..