![]() |
KTT G20 |
Saya tidak tahu, apakah ia pernah ditanya oleh ayahnya,
"Kalau besar mau jadi apa, nak?". Trus dijawab, "Mau jadi Presiden!". Pertanyaan
khas orang tua dahulu yang kalau dengar jawaban mau jadi Presiden atau Dokter,
langsung puas banget.
Tetapi yang pasti cita-cita itu mampir dalam setiap
pemikiran anak kecil meskipun dia tinggal di desa dalam kehidupan yang sangat
sederhana seperti dirinya. Cita-cita yang sudah pasti terkubur seiring dengan
semakin menyadari realita hidup dengan bebannya yang berat yang harus dipikul
pundak pemuda berbadan kurus ini..
Mulai dari ojek payung sampai kuli panggul ia jalani untuk
membantu biaya sehari-hari. Kebayang tubuh kecil, kurus, hitam dan menggigil
kehujanan berlari-lari menawarkan payung dengan pendapatan hanya beberapa sen
saja..
Saya pernah bertanya kepada seorang saudara dekatnya,
"Apa mungkin kesenangan dirinya bagi-bagi sepeda dan peralatan sekolah
adalah bagian dari 'dendam' masa kecilnya yang sulit mendapatkan barang-barang
itu?" Ia mengangguk.
Saya terdiam membayangkan situasi kekurangan yang pernah
dialaminya. Ayahku pernah berkata, "Tidak ada seorangpun pemimpin besar
yang tidak pernah ditempa oleh situasi sulit dalam hidupnya. Karena
sesungguhnya kesulitan mengajarkan banyak hal pada manusia.."
Perjalanan hidup mengajarkanku bahwa ia benar..
Tidak ada yang menyangka -siapapun tidak menyangka- jika
anak kecil lusuh yang 'bukan siapa-siapa' itu sekarang berdiri bersama para
pemimpin dunia.
Tidak ada rasa minder sedikitpun bahwa ia bukan berasal dari
trah terpandang dan berada. Ia bahkan bisa dibilang ndeso dengan gaya
bahasanya, tetapi pikirannya jauh melampaui pemikiran para Jenderal, para
Profesor atau para Ilmuwan yang diakui Internasional.
Ia berfikir 100 tahun ke depan, ketika orang banyak masih
berfikir bagaimana bisa survive dalam 10 tahun nanti..
Lihat gayanya yang tidak mau berdiri di barisan belakang
para pemimpin dunia yang lebih terkenal dari dirinya. Ia ingin berada di depan,
sejajar dengan mereka yang memimpin negara-negara besar.
Tidak ada rasa takut ataupun rendah diri bahwa ia seorang
Presiden dari sebuah negara yang sedang berkembang. Ia selalu memesan tempat
duduk maupun posisi berfoto yang paling strategis dengan pemimpin dari negara
maju.
Ia bangga dengan negaranya dan membawa kebanggaan itu dalam
pergaulan internasional supaya menjadi inspirasi bagi rakyatnya, bahwa kita
adalah calon negara besar dan maju seperti mereka..
Bahasa tubuhnya jauh lebih besar dari fisiknya sendiri...
Seperti secangkir kopi, ia bisa berada di tempat yang paling
terhormat sampai di tempat yang paling kumuh sekalipun tanpa kehilangan nilai
kenikmatannya.
Ia Joko Widodo. Sebuah nama yang biasa-biasa saja dengan
aura yang luar biasa. Patutlah kita angkat secangkir kopi untuknya, dan
berterima-kasih karena ia sudah menaikkan standar seorang pemimpin ke tingkat
yang lebih tinggi dari sebelumnya.