![]() |
Kado Hitam Polisi |
Tepat tanggal 1 Juli ini,
keluarlah Perpres yang menyatakan bahwa ini adalah hari Kepolisian Nasional.
Pada tanggal ini di tahun 1946,
Kepolisian yang berserakan di berbagai daerah disatukan menjadi Kepolisian
nasional dan ditempatkan di bawah Presiden.
Dalam perjalanannya selama 71
tahun, polisi mendapat banyak terpaan dalam menuju kedewasaannya. Dan terpaan
terbesar adalah godaan sebagai penguasa wilayah yang menyebabkan korupsi dan
suap menimpa hampir seluruh elemen kepolisian.
Anekdot "hilang kambing
lapor polisi langsung hilang sapi" sudah memasyarakat. Bahkan Gus Dur
pernah becanda, "Hanya ada dua polisi jujur di negeri ini, Hoegeng dan
polisi tidur.."
Polisi sering dijadikan tameng
politik. Bahkan pada masa kepemimpinan Gus Dur, Kapolri saat itu Bimantoro
berani membangkang padahal dalam posisinya ia seharusnya berada di bawah
Presiden.
Kepolisian pada masa Jokowi ini
mendapat sorotan menarik dengan diangkatnya Tito Karnavian sebagai Kapolri.
Diangkatnya Tito merombak pakem senior junior yang selama ini menjadi budaya.
Tito melewati beberapa generasi diatasnya yang secara senioritas lebih layak
menjadi Kapolri.
Tito Karnavian sendiri adalah
orang lapangan daripada orang administrasi. Rekam jejak langkahnya di dunia
terorisme menunjukkan ia pakar yang dibutuhkan pada masanya.
Dan -sama seperti Jokowi- Tito
mendapat perlawanan keras dari kelompok radikal. Mereka bersatu untuk
menghancurkan nama Tito Karnavian dengan membunuh karakternya sampai
mengadu-domba Kepolisian dengan TNI melalui media sosial.
Lebih keras lagi, para radikalis
ini memburu polisi dimana saja untuk dibunuh. Peristiwa ditusuknya dua anggota
brimob saat lepas shalat Isya, menggenapkan kejadian yang sama di daerah lain
dalam waktu yang berdekatan.
Tito Karnavian sendiri mewarisi
pekerjaan berat yang harus diselesaikannya secara bersamaan. Menumbuhkan
kembali wibawa kepolisian yang sudah jatuh bertahun-tahun di mata masyarakat
karena perilaku oknum di internal, sekaligus memerangi sel-sel teroris di dalam
negeri yang semakin berkembang.
Lecehan sebagian orang bahwa
polisi bermain di balik terorisme hanya karena anggaran, adalah pandangan lama
yang berbekas sampai sekarang.
Kepolisian juga menghadapi
situasi berat dalam menghadapi situasi di lapangan. Mereka terkurung dengan
"tudingan melanggar HAM" yang menghantui sehingga sulit bergerak
dengan bebas.
Selain itu, kepolisian masih
menghadapi kegagapan di internal karena selama ini mereka tidak terbiasa
menghadapi radikalisme berbaju agama - yang notabene adalah saudara seiman
mereka sendiri.
Bekerjasamanya Kapolres Solok
dengan kelompok radikal dalam persekusi kepada warga menjadi contoh terbaik
kegagapan berjamaah di dalam kepolisian. Bahkan Kapolda Sumut yang lama malah
memberi "karpet merah" kepada Rizieq Shihab.
Kebayang kan tugas besar di
punggung pak Tito Karnavian?
Beberapa bulan lalu saya
mendengar dari sumber yang terpercaya bahwa baru pada masa kepemimpinan pak
Tito ini, kepolisian bersih-bersih masjid dan pengajian di internal mereka dari
ustad-ustad radikal yang melakukan cuci otak perpecahan.
Dari situ kita bisa membayangkan,
bertahun-tahun unsur radikal itu ada di dalam tubuh kepolisian sendiri dan para
ustad radikal itu juga mendapat informasi dari dalam tubuh polisi sendiri.
Situasi sekarang ini dengan
begitu banyaknya ancaman kepada aparat, seharusnya mulai menyatukan kembali
elemen di kepolisian dengan semangat Hari Bhayangkara. Kepolisian harus mulai
sadar bahwa kewibawaan harus ditumbuhkan kembali dan itu harus dimulai dari
bersih-bersih di internal.
Tumbuhkan kepercayaan bahwa
polisi adalah bagian dari masyarakat bukan penekan masyarakat. Lambat laun,
masyarakat sendiri akan menjadi pagar betis yang efektif untuk menjaga polisi
dari ancaman luar.
Semangat pak Tito. Semangat
Kepolisian Nasional. Selamat hari Bhayangkara dan salam secangkir kopi.