![]() |
Petani Garam |
Bukan hanya rakyat awam yang
mempertanyakan hubungan antara panjang pantai Indonesia dengan produksi garam.
Bahkan ex menteri sekelas Prof
Emil Salim dan politikus senior yang malang melintang HNW pun mempertanyakannya.
(Aneh saja kalau baru mereka menanyakan sekarang, tp gapapa).
Kalau kita berpatokan pada garis
pantai, bagaimana dengan negara Austria dan Belarus yang masuk 20 besar
pengekspor garam tapi tidak memiliki garis pantai satu inci pun (0km)?
Bagaimana dengan Belanda yang hanya
punya panjang pantai 1/45 panjang pantai Indonesia tapi jadi pengekspor utama
garam dunia?. Kenapa bukan Canada yg memiliki panjang pantai terpanjang yg
menjadi eksporter utama garam dunia?.
Sama spt Indonesia, Canada juga
paham bahwa tdk semua pantainya bisa dijadikan ladang garam. Negara2 pengekspor garam rata2
mempunyai tambang garam yang akan habis dalam ratusan tahun kedepan, biaya yang
mereka pakai untuk menambang jauh lebih murah dan garamnya lebih bagus.
Sedangkan pola penguapan air laut
seperti yg di lakukan Indonesia yang sangat tergantung dengan cuaca,
menghasilkan garam yang jelek. kalaupun Indonesia memaksakan harus pakai
rekayasa teknologi utk penguapan garam akan memakan biaya sangat besar.
Garam dr tambang sdh dikeringkan
alam selama jutaan tahun, sementara garam hasil penguapan baru dikeringkan
selama 1 bulan, itupun kalau cuaca baik, maka hasilnya akan beda jauh.
Selama bertahun tahun, mengapa
produksi garam di Indonesia tidak juga bertumbuh?
Apa yang salah?
Yang salah adalah kita berusaha
melawan hukum Demand Suply dan Harga. Harga garam import Rp 500/kg sdh sampai
Indonesia, harga garam lokal Rp 750-1200/kg.
NTT adalah penghasil garam
terbesar di Indonesia, tapi dengan harga Rp 750 - 1200/kg, maka berapa ongkir
yg ditanggung jika harus dikirim keluar NTT? Ongkos logistiknya terlalu besar.
Usaha yang sia-sia dan akan selalu menjadi dilema.
In my opinion, lebih baik maritim
Indonesia di fokuskan ke perikanan, pariwisata, rumput laut dll dan tidak
terlalu memaksakan untuk swasembada garam. Kalau bisa ya syukur kalau tidak ya
import. Import tidak selalu jelek asal memang menjadi kebutuhan dan tidak
diselewengkan.
Kita harus menyadari bahwa kita
bukanlah negara terlalu sempurna seperti lagu "tongkat kayu jadi tanaman,
kolam susu.." sama seperti manusia, negara juga butuh negara lain.
Nasionalis juga harus realistis.
oleh : ditya danes