![]() |
Media |
Tahun 1994, terjadi genosida suku
Tutsi oleh suku Hutu di Rwanda. Korban dalam hitungan bulan mencapai jutaan.
Kalau ingin tahu seperti apa situasi itu, coba nonton film "Sometimes in
April" atau "Hotel Rwanda".
Apa yang menyebabkan pembantaian
antar suku itu? Kebencian. Kebencian akan peristiwa masa lalu diungkit kembali
dan disebar-luaskan oleh media. Bentrokan masa lalu antara suku Hutu dan Tutsi
di Rwanda, pertama kali diangkat oleh koran Kangura lewat artikel dan kartun
graphis.
Tahun 1993. situasi politik yang
memanas karena mendekati pilpres, didirikanlah sebuah stasiun radio baru
bernama Radio-Television Libre des Mille Collines atau RTLMC. Ini stasiun radio
milik suku Hutu.
Setiap menit, para penyiarnya
menyerukan kebencian kepada suku Tutsi. Mereka juga memutar lagu-lagu yang
membakar semangat untuk membantai suku Tutsi yang mereka sebut "si
kecoak". Karena buat mereka, suku Tutsi ibarat kecoak yang mengganggu dan
untuk membunuhnya cukup dengan diinjak saja bisa mati beberapa. Mudah dan
murah.
Radio Mille des Collines ini
dibiayai oleh kepentingan politik yang ingin menguasai Rwanda dengan
memanfaatkan kebencian antar suku.
Para penyiarnya -menurut seorang
pelaku- selalu mabuk. Mereka juga menggunakan bahasa prokem dalam siaran dan
menyiarkan lagu-lagu hits dengan disc jockey. Ternyata itu semua memang
dibangun untuk menarik simpati orang bodoh, pengangguran dan geng preman.
Cukup setahun saja mereka
menyiarkan kebencian, dan 1 juta lebih nyawa melayang.
Tertangkapnya kelompok Saracen,
yang memproduksi kebencian dan hoax secara massif dengan 80 ribu anggota, membuat
kita sadar bahwa media -meski modelnya sudah berbeda zaman- tetaplah efektif
untuk mempengaruhi pemikiran seseorang.
Model produksinya sama seperti
Radio Mille des Collines itu. Buat konten-konten dengan bahasa awam, biasakan
orang membaca tulisan makian dan cacian, lalu propagandakan keresahan bahwa
sudah saatnya bergerak untuk perubahan.
Sasaran Saracen sama juga, yaitu
orang bodoh yang menggunakan hp pintar, para pengangguran yang resah karena
tidak mendapat pekerjaan dan ormas-ormas yang begitu banyak tersebar di
Indonesia. Mereka ini "sedang dilatih" untuk menjadi radikal dan
garda depan ketika rencana chaos akan dijalankan.
Alasan Saracen dengan Radio
kebencian di Rwanda itu juga sama, yaitu Freedom of speech atau kebebasan
berbicara.
Grup Saracen hanyalah gunung es.
Ia tampak besar tetapi belum keseluruhan. Di bawahnya lagi masih banyak
kelompok-kelompok maupun personal yang memanfaatkan kebencian sebagai produk
dagangan.
Mereka ada yang memang sadar apa
yang dilakukan, dan jauh lebih banyak lagi yang hanya ikut-ikutan.
Tertangkapnya beberapa anak
sekolah karena mengirimkan ujaran kebencian lewat media sosial adalah bukti
bahwa sudah banyak orang yang menjadi zombie karena terpengaruh propaganda.
Kita tidak bisa hanya berteriak,
"manfaatkan media sosial dengan bijak!" karena sejak pilpres 2014
sudah begitu banyak akun-akun bayaran untuk memecah belah. Yang bisa kita
lakukan adalah dengan melawan. Propaganda vs Propaganda. Fight fire with fire.
Hukum biar urusan pihak keamanan.
Seruput dulu kopinya karena guncangan ini
belum akan reda sampai Pilpres berikutnya.