![]() |
Toko Buku |
DEE LESTARI, Novelis,
Enam belas tahun lalu, saat saya
mulai menerbitkan buku, persepsi umum tentang profesi penulis adalah miskin dan
prihatin.
Banyak yang bingung kenapa saya
mau banting setir dari penyanyi yang konon lebih banyak uangnya. Tak terhitung
saya mendengar kasus penulis dikadali penerbit, juga penulis-penulis yang harus
sibuk cari kerjaan sampingan karena tidak bisa mengandalkan royalti bukunya.
Seorang teman berkata, “Saya
buruh kata. Kalau nggak begitu, nggak makan.” Publik boleh mengenalnya sebagai
novelis kenamaan, tapi sebenarnya ia mengerjakan macam-macam, dari mulai
artikel pesanan, ghost writer, sampai skrip iklan.
Ketika masyarakat
berteriak-teriak soal memprihatinkannya budaya membaca dan kerdilnya industri
perbukuan Indonesia, kami para penulis ikut teriak.
Tapi, begitu urusan royalti,
diskusi antarpenulis seringnya kembali kepada konsensus (sekaligus penghiburan)
bahwa menulis adalah urusan kepuasan batin karena membahas royalti terlalu
menyakitkan.
Enam belas tahun berjalan, dan
kini saya bisa bilang bahwa menulis buku adalah profesi utama yang bisa saya
andalkan, dan saya bisa hidup berkecukupan.
Namun, saya sadar, hanya segelintir
penulis bisa menyatakan hal serupa. Mungkin jumlahnya kini lebih banyak
dibandingkan tahun 2001 ketika saya baru memulai. Tapi, gambar besarnya masih
sama. Secara ekonomi, penulis adalah profesi yang menantang.
Genggamlah sebuah buku dan
bayangkan bahwa 90% dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek
fisiknya saja. Hanya 10% untuk idenya (bisa 12,5-15% kalau punya bargaining
power ekstra). Lalu, penulis berhadapan dengan negara.
Potongan kue kami yang mungil itu
dipotong lagi lima belas persen, tak peduli kami hidup seperti burung hantu,
wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa
pun juga. It’s done deal. Kami tidak akan pernah mengecap seratus persen
penerimaan royalti karena pemotongan itu bersifat langsung. Lalu, sisanya kami
masukkan ke dalam pendapatan tahunan. Bulat utuh menjadi pendapatan kena pajak
dan masih harus menghadapi hitungan pajak berjenjang.
Setelah penulis Tere Liye
memutuskan untuk menarik 28 bukunya dari penerbit sebagai protes terhadap
kebijakan pajak royalti penulis, hangatlah diskusi di berbagai ranah. Berbagai
tanggapan pun muncul, dari pengamat pajak, Dirjen Pajak, bahkan Ibu Sri Mulyani
ikut bersuara. Beberapa respons mengatakan keputusan Tere Liye emosional dan
berbasiskan persepsi yang kurang tepat mengenai pajak royalti.
Saya bukan pakar pajak. Saya
berbicara dari sudut pandang sesama penulis dan wajib pajak biasa. Saya juga
tidak mengenal Tere Liye secara langsung. Tapi, saya bisa pastikan Tere Liye
tidak sendiri dalam kegelisahannya. Setiap ada kesempatan berbicara mewakili
penulis, soal pajak royalti tidak pernah luput saya ungkap. Termasuk ketika
saya punya kesempatan curhat langsung kepada Presiden Jokowi di acara Temu
Kreatif BEKRAF di ICE BSD, tahun 2015. Di sana, kembali saya menyuarakan agar
pajak royalti penulis diringankan.
Dengan seorang pejabat pajak,
saya pernah berdiskusi panjang lebar. Dalam pandangan awam saya, peraturan
pajak saat itu rasanya menggasak penulis dua kali. Sudah pendapatan royalti
dikenai 15%, sisanya yang masuk ke penghasilan tahunan dihitung utuh sebagai
pendapatan kena pajak.
Saya lalu membandingkan dengan
suami saya, seorang praktisi kesehatan, yang karena profesinya dapat
menggunakan rumus norma sebesar 30%. Dari total pendapatannya, ia cukup
memasukkan 30% untuk dikenai pajak. Sisanya? Dianggap sebagai modal usahanya
sebagai praktisi kesehatan.
Dalam diskusi itu saya bertanya,
mengapa tidak ada norma untuk profesi penulis? Mengapa pendapatan kami seratus
persen dikenai pajak? Lalu, pejabat pajak itu menjawab, norma hanya rumus untuk
memudahkan. Jika saya mau membuat pembukuan, bisa saja saya masukkan
biaya-biaya yang dianggap “modal menulis”, entah itu sewa kantor, riset, dan
sebagainya.
Saya pun berpikir, mengapa
penulis harus serepot itu mengada-ada agar mendapatkan keringanan? Menulis buku
saja sudah repot. Dan, setelah saya telusuri lagi, melampirkan pembukuan pun
bukan solusi bagi profesi penulis karena penghasilan royalti dianggap sebagai
income pasif, macam bunga deposito. Namun, yang paling mengganggu saya saat itu
adalah, ketiadaan norma bagi penulis menunjukkan bahwa profesi kami masih
invisible di mata pajak.
Setahun setelah curhat saya ke
Presiden Jokowi, saya mendengar kabar baik dari Yustinus Prastowo, analis pajak
yang sering saya ajak tukar pikiran, bahwa akan ada aturan norma untuk penulis.
Akhirnya. Profesi penulis
memiliki tempat bersama profesi-profesi lain yang punya pilihan memakai rumus
norma. Kami, yang tidak punya staf akuntan dan tak sempat membuat pembukuan
apalagi mengarang-ngarang pengeluaran modal, dapat dimudahkan dengan rumus
norma ini. 50%. Not bad, pikir saya. Daripada tidak sama sekali.
Tahun 2017 ini akhirnya kami
berkesempatan menggunakannya. Saya bahkan sebarkan kabar bahagia itu ke
rekan-rekan penulis di awal bulan pelaporan pajak agar mereka tidak lupa
menggunakan privilese baru tersebut. Namun, ternyata tidak semua berakhir baik.
Beberapa teman melaporkan bahwa pemakaian norma mereka ditolak oleh KPP
setempat. Alasannya, norma itu hanya bisa dipakai untuk pendapatan non-royalti.
Saya ikut terkejut. Pendapatan utama seorang penulis seharusnya adalah
royaltinya. Jadi, kenapa justru norma itu tidak bisa dipakai untuk pendapatan
utamanya?
Saya pikir tadinya itu sekadar
masalah sosialisasi. Mungkin belum semua KPP paham dan ngeh tentang aturan baru
itu. Di sinilah akhirnya polemik Tere Liye memberikan saya kejelasan. Akibat
maraknya pembahasan pajak royalti penulis, saya berkesempatan mengumpulkan
berbagai perspektif. Dan, ternyata saya masih menemukan akar permasalahan yang
sama.
Ketika penulis dianggap
memperoleh penghasilan pasif, maka ia tidak dianggap layak untuk memanfaatkan
rumus norma. Penulis dianggap tidak keluar modal. Biaya kertas, percetakan,
distribusi, dsb, adalah modal penerbit. Terkecuali jika penulis menerbitkan
sendiri karyanya, barulah ia dianggap keluar modal. Artinya, ketika pajak
menggenggam sebuah buku, ia hanya melihat modal yang keluar dari 90% aspek
fisik buku saja, bukan dari kontennya.
Inilah masalahnya. Terlepas dari
definisi royalti per se, bagi saya pada hakikatnya penerbit dan penulis seperti
mitra yang berbagi hasil. Mereka membawa investasinya sendiri-sendiri. Penerbit
membawa modal cetak. Penulis membawa modal konten dan waktu yang telah ia
dedikasikan untuk mewujudkan idenya jadi buku. Buku laku maka dua-duanya
untung. Buku tak laku maka dua-duanya buntung.
Di mata pajak, definisi modal
masih berkutat di aspek fisik mekanis. Ada wujudnya, ada barangnya. Sementara
modal penulis bersifat abstrak. Secara wujud fisik, penulis mungkin datang
hanya dengan membawa sebatang USB atau jilidan draf. Tak ada harganya. Tapi,
sebagai pihak yang melalui proses berkarya, bagi saya modal itu tidak kecil
sama sekali. Penulis adalah hulu dari industri buku. Penyumbang konten yang
lalu diperbanyak secara fisik oleh mata rantai berikutnya. Bagaimana mungkin
kontribusi di hulu itu tidak dihargai secara proporsional?
Kalau rumus norma penulis hanya
berlaku bagi pendapatan non-royalti, maka untuk menikmatinya penulis harus
mengkapitalisasi lagi kepenulisannya sebagai pembicara, pemateri, pengiklan.
Apa pun tapi bukan royalti. Boleh-boleh saja tentunya. Saya pun melakukannya.
Tapi, berapa banyak penulis yang
punya kesempatan ke arah sana? Dan, apa gunanya norma 50% itu kalau ternyata
tidak bisa menyentuh pendapatan utama penulis, yakni royalti bukunya sendiri?
Lagi-lagi, kondisi tadi menggarisbawahi bahwa: menulis buku saja tidak cukup.
Setiap saya memasuki periode
menulis buku baru, ada satu folder yang akan sering sekali saya buka. Isi
folder itu adalah template surat penolakan. Saya menolak tawaran jadi
pembicara, menolak undangan ke luar kota, dsb. Rangkaian penolakan tersebut
bisa berlangsung enam bulan hingga setahun. Saya sadar banyak peluang income
yang terpaksa saya lewatkan demi melahirkan buku baru, but I set my priority.
Ketika suami pergi kerja dan anak saya sekolah, saya menghabiskan 5-7 jam per
hari untuk menulis.
Di Inggris, penulis macam saya
termasuk kategori pekerja lepasan, dan untuk itu pendapatannya dianggap sebagai
pendapatan aktif. Namun, di mata perpajakan kita, semua yang saya lakukan itu
adalah upaya pasif. Pemasukan saya kelak juga akan menjadi pendapatan pasif.
Sama seperti kalau saya mendepositokan uang, mendiamkannya, dan menunggu ia
tumbuh.
Masalahnya, buku saya tidak
menulis dirinya sendiri. Saya yang aktif bekerja melakukannya. Bisa setahun
penuh. Hasil dari kerja itulah yang menjadi modal saya untuk pergi ke penerbit
dan bernegosiasi. Dan, apakah berhenti di sana? Tentu tidak. Kami masih harus
menjalani program promosi berupa launching, booksigning, jumpa pembaca, dst.
Pertanyaan saya, jika memang
pekerjaan kami dianggap pasif, mengapa perlakuan pajak terhadap pendapatan
royalti tidak mencerminkan itu? Bunga deposito dikenai pajak final. Tetapi,
pendapatan royalti tidak demikian. Betul, pajak yang tidak final bisa digunakan
sebagai kredit pajak, dan itu yang selalu menjadi alasan ketidakfinalan pajak
royalti dianggap “menguntungkan”.
Tapi, silakan simulasi sendiri.
Mana yang lebih punya dampak bagi kami. Dikenai pajak dua kali atau sekalian
jadikan pajak royalti sebagai pajak final? Karena toh setelah profesi penulis
punya rumus norma sekalipun, kami tetap tidak dapat menggunakannya untuk
meringankan pajak royalti kami.
Ketidakselarasan antara perlakuan
profesi dan perlakuan pajak inilah yang menjadi sumber masalah. Porsi jerih
payah kami mungkin hanya 10 – 15% dari harga banderol, tapi jangan nolkan modal
kami. Selama kontribusi kami tidak dilihat sebagai modal riil, maka selamanya
pula kami dirugikan meski dengan adanya pilihan memakai norma.
Ketika saya bicara soal meminta
keringanan pajak royalti, beberapa berkomentar, “Orang pajak pasti akan
bertanya balik, keuntungan buat mereka apa? Kalau pajak diringankan, harus ada
timbal baliknya.” Saya mengerti logikanya, tapi juga mendapatkan hal itu
menyedihkan. Kalau hitungannya cuma uang, saya tidak tahu bisa memberi timbal
balik apa lagi untuk pemerintah (selain berkarya dan membayar pajak). Bahkan
dalam peta ekonomi kreatif Indonesia, industri perbukuan adalah industri bontot
yang kuenya sangat kecil dibandingkan kuliner dan busana.
Saya juga tidak mau terdengar
cengeng dan minta diistimewakan, sebagaimana saya pun yakin bukan itu motivasi
Tere Liye lewat protesnya, tapi kenyataannya industri buku dengan penulis
sebagai hulunya memang masih perlu disokong.
Jika kita sungguh-sungguh ingin
meningkatkan mutu literasi bangsa ini, jika kita ingin punya lebih banyak
penulis berkualitas yang melahirkan buku-buku bermutu, jika kita betulan
kepengin menjadi bangsa pencipta dan bukan hanya penadah, kita harus mulai
melihat jenis modal lain selain modal fisik mekanis.
Mulailah berpikir tentang
investasi kreativitas dan intelektualitas. Ketika profesi penulis bisa menjadi
salah satu profesi yang menguntungkan secara ekonomi, saya yakin akan lebih
banyak orang yang berani berdedikasi pada kepenulisannya. Penulis dapat fokus
berkarya sebaik mungkin tanpa harus dipusingkan menyambi kiri-kanan demi
menyambung hidup. Penulis berkesempatan sepenuhnya bersandar pada buku yang ia
tulis tanpa harus memutar otak mengkapitalisasi dirinya demi memperbanyak
pendapatan non-royalti. Tidakkah kesejahteraan penulis adalah bagian dari mimpi
besar memperbaiki kondisi literasi bangsa ini?
DJP telah memberikan pernyataan
resmi sehubungan isu pajak royalti penulis. Di paragraf akhir tertera
keterbukaan DJP untuk menerima masukan. Sekali lagi, saya bukan pakar pajak.
Tapi, izinkan saya memberi sedikit masukan. Ini hanya harapan berdasarkan
nalar, yang syukur-syukur menjadikan wacana keringanan pajak royalti penulis
yang kami maksud bisa tepat sasaran:
Jika royalti tetap dianggap
penghasilan pasif, maka perlakukanlah pajaknya seperti pemasukan pasif. Final.
Setelah penerbit memotong pajak kami, maka selesai urusan.
Jika royalti bisa dipertimbangkan
sebagai penghasilan aktif, maka beri pilihan penggunaan norma pada seluruh
pendapatan kami tanpa kecuali.
Jujur, pilihan pertama lebih
menggairahkan bagi saya. Bayangkan, jika para kreator diberi keleluasaan
seperti itu, negara benar-benar dapat menghadirkan atmosfer kondusif bagi para
penemu dan insan kreatif yang pekerjaannya mencipta, termasuk penulis.
Andai perubahan kebijakan pajak
yang kami harapkan terjadi, mungkin tidak serta merta pula bermunculan penulis
kaya raya. Kembali kepada konsensus/penghiburan kami, menulis pada dasarnya
adalah merayakan kepuasan batin. Namun, ketika kerja keras kami menjadi kasat
mata di mata pajak, terlepas jadi best-seller atau tidak, kami punya satu bahan
lagi untuk dirayakan. Keadilan.