![]() |
Denny Siregar |
Pada waktu sedang menjadi
pembicara di Tangerang, saya melihat segerombolan orang di kursi hadirin.
Matanya tajam menatap saya.
Tubuhnya besar-besar seperti lama di lapangan. "Wah, kayaknya ada yang
tersinggung nih" Begitu pikir saya.
Entah kenapa banyak sekali yang
tersinggung dengan tulisan saya. Ngomong politik, tersinggung. Ngomong agama,
marah. Ngomong bisnis, ngamuk.
Padahal saya tidak bertujuan
menunjuk muka orang, hanya mengingatkan saja fenomena-fenomena yang terjadi.
Dan tibalah sesi bertanya.
Seperti dugaan saya, salah
seorang dari gerombolan itu berdiri duluan mengambil giliran bertanya.
"Bang Deny, saya buruh"
Suaranya berat dan dalam.
Waduh, saya ingat beberapa waktu
lalu pernah menulis tentang buruh yang kerjaannya demo menuntut kenaikan. Saya
tantang mereka, kenapa kalian tidak keluar saja dan wiraswasta daripada sibuk
demo?
Dan para buruh marah. Saya
seperti mengguncang sarang lebah mengoyak keyakinan dan budaya mereka selama
ini. Saya diburu dimana-mana. Bahkan tersebar meme berisi bahwa saya “Musuh
para buruh”.
Saya terdiam dan menatapnya,
siap-siap akan kemungkinan terburuk. “Ya, pak.. Silahkan” Suara saya seperti
tercekat di tenggorokan.
“Saya dulu adalah koordinator
lapangan di setiap ada demo. Dan kami semua para buruh tersinggung sekali atas
tulisan abang. Bahkan pernah ada rencana untuk membunuh abang jika bertemu di
jalan. Kami cari abang kemana-mana. Eh, ketemunya disini”.
Jeng jeng. Hadirin mulai gelisah.
Apalagi ketika gerombolan lelaki besar itu berdiri semua. Napas saya sesak dan
berasa terhenti. “Kali ini saya habis..,” Pikir saya.
Juru bicara dari para buruh itu
maju ke depan.
“Baru sekarang ini kami sadar,
bahwa apa yang bang Denny katakan benar. Kamilah yang menentukan nasib kami
sendiri. Kami kemudian membentuk kelompok usaha bersama dan keluar dari pabrik
tempat kami bekerja. Kami sekarang wiraswasta. Kami kesini mau ucapkan
terimakasih atas tulisan abang. Boleh saya peluk abang?”.
Ah, rasanya seperti di siram air
es sekujur tubuh. Mereka semua maju ke depan mendekati panggung. Saya turun ke
bawah dan mulai memeluk mereka satu persatu. Ada nilai-nilai persahabatan
disana.
Pada akhirnya, kebenaran akan
menemukan jalannya. Meskipun saya bukan ukuran kebenaran, setidaknya saya
berani bersuara terhadap apa yang saya pikirkan.
Resikonya memang besar, tetapi
lebih sulit lagi menjadi orang yang diam ketika hal yang janggal tampak di
depan.
Saya sudah lama tidak bertemu
mereka dan mudah-mudahan satu saat kami duduk dan ngopi bersama mengingat-ingat
apa yang dulu pernah kami lakukan. Sekarang tambah lagi orang yang tidak suka
dengan saya, para trader Bitcoin. Naseb, naseeb.