![]() |
Umpatan |
“Kenapa selalu menulis yang
menyinggung umat Islam??”
Biasanya begitu pertanyaan yang
halus kepada saya..
Tapi sebenarnya lebih banyak yang
maki2 dengan kata2 “bangsat, anjing dsb”nya. Lucunya habis maki2 dia mengaku
pula “kami umat Islam”..
Saya bingung. Seandainya dulu
Rasulullah ketika menyebarkan petunjuk keselamatan kepada bangsa arab yang
bebal dan bodoh pada waktu itu, apakah beliau menyebarkan dengan makian seperti
anjing bangsat dan segala macam itu?
Tentu tidak. Malah beliau yang
dimaki-maki mereka..
Rasulullah mengajarkan Islam
kepada bangsa arab jahiliyah waktu itu dengan kelembutan. Kelembutan yang
dibawakan beliau bagaikan mutiara ditengah tumpukan sampah, itulah kenapa
ajarannya bersinar. Karena jika mutiara berada ditengah kumpulan mutiara juga,
tentu sinarnya akan biasa saja..
Begitu juga para Nabi-Nabi
pendahulu. Mereka diturunkan ditengah masyarakat yang “sakit” dan keruntuhan
moral yang dahsyat, sehingga mereka bersinar bak cahaya..
Sebenarnya saya malu ketika
menyebut diri sendiri “umat Islam”, karena itu seperti “mengatas-namakan”
agama. Perilaku saya jauh dari mewakili apa yang dibawa agama saya.
Tapi ada orang2 yang begitu
pedenya seolah dia menjadi perwakilan agamanya, tapi dengan kelakuan yang
persis bangsa arab jahiliyah pada waktu itu.
Ah, biarlah dia mungkin perlu
belajar arti “Islam” dan “Muslim” lebih dalam, bukan hanya dari bungkusnya
saja. Seandainya satu waktu dia paham, tentu akan malu sendiri karena antara
ajaran agamanya dan perilakunya bagaikan bumi dan langit...
Saya jadi teringat kisah waktu
diskusi di sebuah gereja..
Seorang hadirin bertanya dengan
terlebuh dahulu mengenalkan dirinya, “Bang Denny, saya seorang Kristen...”
Saya berhentikan dulu dengan
sopan, “Sebentar, sebelum bertanya. Benarkah bapak seorang Kristen?” Tanya
saya. Si bapak bingung dan menjawab, “Benar saya Kristen..”
Saya bertanya lagi, “Apakah Bapak
tahu arti dari Kristen?”. Dia menjawab, “Pengikut Yesus..”
“Apakah bapak yakin bahwa bapak
pengikut Yesus? Bahwa bapak bisa mengikuti apa yang Yesus ajarkan? Mulai dari
kasihnya dan semua pengorbanannya sampai ia disalibkan?” Tanya saya lagi.
Tampak tangannya gemetar. Yang
hadirpun banyak terdiam. Ketika sudah disampaikan ukuran dari “pengikut” itu,
orang sudah mulai ragu dengan dirinya sendiri. Merasa kecil dan tak berarti..
Sang Bapak terdiam, tidak jadi
bertanya, dan mulai mengupas pemikirannya selama ini. “Benarkah aku ini Kristen? Jangan2 cuman klaim doang, tapi sedikitpun aku tidak pernah mencapai apa yang
diajarkan..”
Saya sendiri sudah lama malu
mengaku diri saya muslim. Karena muslim itu adalah sebuah tujuan, harapan dan
keinginan untuk mencapai kesana. Tapi prakteknya? Mungkin nol besar..
Karena itulah kita diberi kitab2
yang berisi petunjuk, bagaimana menjadi Muslim, bagaimana menjadi Kristen,
bagaimana menjadi Hindu dan Budha yang sesungguhnya...
Siapa yang berhak menilai kita Muslim,
Kristen, Hindu atau Budha ? Ya jelas, Tuhan.. bukan manusia. Apalagi manusia
yang mengaku-aku bahwa dirinya sudah seperti yang diajarkan..
Saya pernah berfikir lama sekali,
bahwa seandainya manusia sibuk mendalami petunjuknya masing2 dan sibuk mengamalkan
petunjuknya masing2, maka tidak ada keributan di dunia ini atas nama agama.
Semua manusia beragama akan
berlomba saling merendah kepada penganut agama lain, bukannya meninggikan diri
dan saling mengklaim..
Itulah esensi dari kalimat
“Untukku agamaku dan untukmu agamamu..” Sebuah kalimat yang menunjukkan bahwa
banyak yang harus kita pelajari di ajaran2 kita sendiri..
Saya rasa secangkir kopi cukup
menemani malam panjang ini.. Seruputtt..