![]() |
Dedi Mulyadi-Deddy Mizwar |
“Politik itu bukan bagaimana cara
memimpin saja, tapi bagaimana memenangkan pertarungan..”
Begitu kata Kang Dedi Mulyadi
kepada saya.
“Bagaimana bisa memimpin
nantinya, kalau dalam pemilihan saja kalah?” Ia terbahak.
Ciri khasnya keluar. Santai dan
tanpa batas meskipun ia seorang Bupati. Dedi Mulyadi memang orang yang tidak
jaim, terbuka dan suka merendah.
Meskipun begitu, ilmu politiknya
bukan ilmu rendahan. Menjadi Bupati dua periode dan menjadi ketua DPD Golkar
Jabar, bukan prestasi recehan. Ia orang yang sabar, membangun sesuatu bata demi
bata. Ia bukan tipikal orang yang berfikir instan..
“Kenapa Deddy Mizwar?” Tanya saya
kesal.
Dia ketawa lagi. Dia tahu saya
awam dalam strategi politik, tapi dia juga tahu bahwa saya adalah pendengar
yang baik.
“Terus ma siapa kalau bukan Demiz?” Kata dia. “Politik itu bukan masalah suka atau tidak suka, ini masalah
bagaimana menempatkan bidak pada posisi yang tepat. Poltiik itu adalah papan
catur raksasa..”
Saya berusaha memahami pemikiran
dan strateginya.
“Di Jabar ini hanya ada tiga
tokoh. RK, Demiz dan saya. Tidak ada lagi yang lainnya..” Jelasnya sambil
melirik ke saya.
“Saya ini dalam survey selalu
noner tiga, dibawah Demiz dan RK. Jadi kecerdikan pun harus ekstra..” Dia
ketawa lagi.
“Pilkada Jabar bukan seperti
Pilgub DKI. Di Jabar tidak ada dua putaran. Yang tinggi hasil pilihannya, dia
langsung dipastikan sebagai pemenang. Catat itu..” Katanya tersenyum menang.
“Kalau saya yang sering dituding
musyrik, penyembah patung dan segala macam itu maju sendiri, saya jelas kalah
besar.
Apalagi kalau saya dipasangkan
oleh PDIP dengan Anton Charliyan, mantan Kapolda Jabar yang juga diserang
dengan tudingan pembina preman.
Si musrik dan si pembina preman
di satu gerbong? Hancur minaaa..” Dia menyeruput kopinya.
“Karena itulah saya membutuhkan
seseorang dengan nama bersih dan diterima oleh masyarakat sunda yang religius.
Ya saya pilih Demiz. Kenapa ngga? Wong dulu Demiz juga yang menjadi penentu
Aher menang..” Dedi Mulyadi ketawa terbahak.
Saya baru mulai memahami jalan
pikirannya. Dia memang politikus ulung.
“Demiz lebih diterima oleh
masyarakat sunda yang relijius daripada saya. Ya sudah, kita ikuti arus itu
jangan dilawan dulu..
Malah lebih bagus dia jadi Cagub,
semakin mudah jalan saya untuk merangkul orang Sunda. Mereka yang dulu termakan
propaganda bahwa saya ini musrik, perlahan akan melihat bahwa saya tidak
seperti itu.
Pelan-pelan ngajari orang, gak bisa
langsung dihantam..” Dia menutup penjelasannya.
Ah, saya sudah bisa menangkap
inti dari strateginya. Jadi malu ketika pikiran saya dalam politik masih garis
lurus, sedangkan dia sudah mampu membuat belokan tajam sesuai dengan model
politik itu sendiri..
“Lalu bagaimana dengan RK?” Tanya
saya.
“Ya biarkan RK sama Anton
Charliyan. Palingan dia cuma dimusuhi sama pendukungnya dulu karena berpasangan
dengan pembina preman. Dia udah gak mau berpasangan sama orang musrik seperti
saya..”
Dia ketawa terbahak. Saya ikutan
ketawa jadinya.
“Dengan Demiz, peluang saya
menang jauh lebih besar daripada jika tidak. Sebagai nomor bontot, harus kebih
cerdik daripada si nomor satu..
Apalagi jadi Cawagub, seenggaknya
saya punya peluang memimpin lebih lama daripada jika saya jadi Cagub..” Dia
tersenyum.
Ah, waktu pulang sudah hampir
tiba. Saya harus pamit, tapi ada satu pertanyaan yang harus saya lontarkan..
“Kang Demiz kan selalu berdoa, gak
mengganggu kinerja nantinya?”
Demul dengan santai menjawab, “Biarkan Demiz berdoa, saya yang bekerja. Kan harus gitu, doa dulu baru bekerja.
.” Saya pun ketawa ngakak. Bisa aja si akang ini..
Bruggg.. Tiba-tiba dunia terasa
ambruk..
Ah, ternyata saya terjatuh dari
sofa tempat saya tertidur. Mimpi pun buyar seketika. Meski begitu kenangan tadi
manis, karena ternyata obrolan dalam mimpi tadi membekas di hati sampai saat
ini..
Sambil mengambil secangkir kopi
yang sudah dingin, ternyata hatiku tidak bisa berpaling dari seorang
#DediMulyadi. Seruput dulu ah..