![]() |
Militansi Bani Micin |
Yang saya salut dari kelompok
yang sering dinamakan “Bani Micin” itu adalah militansinya. Mereka seperti
benteng yang kokoh melindungi simbol-simbolya. Mereka tidak perduli, seberapa besar
kesalahan simbol mereka, tetap mereka benarkan. Bahkan mereka mencari-cari
alasan untuk pembenaran.
Sebagai contoh, ketika simbol
mereka sang Imam besar terkena kasus chat sex...
Bukannya pecah, benteng mereka
semakin rapat melindungi simbolnya. Merekapun mencari pembenaran dengan bahasa
“kriminalisasi”. Dan seperti komando, pembenaran ini menjadi sandi yang mereka
gunakan di dalam kelompok mereka.
Contoh lain lagi, ketika simbol
mereka minum kencing onta.
Merekapun gencar mencari
hadis-hadis pembenaran, meski kadang sulit masuk di akal. Tapi itulah mereka,
dengan kesederhanaan dan keluguan pola pikir mereka, nyatanya mereka bisa satu
komando tanpa sibuk berdebat masalah kebenarannya..
Beda dengan mereka yang sering
membanggakan dirinya sebagai “kaum waras”..
Kaum waras ini begitu rentan.
Dengan posisi mereka sebagai kelas menengah-menengah mapan, mereka mudah sekali
diserang keyakinannya.
Kaum yang menyebut dirinya waras
ini, jika membangun figur selalu dalam posisi “harus sempurna” sesuai persepsi
mereka sendiri. Sehingga ketika muncul ketidak-sempurnaan, mereka malah
berantem sendiri.
Contoh dulu ketika Jokowi
terlihat seperti orang ragu dalam mengambil keputusan, merekapun seperti jamaah
yang kecewa. Padahal apa yang Jokowi lakukan adalah menghindari cara bentrokan
langsung dengan mereka yang memusuhinya secara diam-diam.
Begitu juga ketika mereka yang
dulunya pendukung Dedi Mulyadi tiba-tiba menyerang saya karena kecewa. Padahal
apa yang dilakukan kang Dedi adalah sebuah strategi untuk memenangkan
pertarungan yang lebih besar yang tidak semua orang mengerti maksudnya.
Sayapun pernah mendapat peristiwa
yang sama, ketika kelompok bani micin menyerang dengan kekuatan penuh membangun
propaganda bahwa saya lemah. Saya malah mendapat serangan yang sama dari
mereka-mereka yang sevisi dengan saya.
Dan situasi yang sama terjadi
pada Ahok..
Ketika akhirnya terkuaklah berita
bahwa ia akan bercerai, bahkan ada banyak orang yang dulu menjadi pembelanya
sekarang mencacinya, dengan dalih agama. Seakan-akan orang yang menjadi figur
itu harus sangat sempurna, tidak boleh sedikitpun ada cacatnya.
Disinilah letak kelemahan mereka
yang mengaku sebagai pembela kebhinekaan. Mungkin karena “berbeda-beda” sehingga
tanggapan pun suka berbeda-beda. Sedangkan si bani micin “tetap satu jua”.
Saya tidak kebayang ketika Jokowi
tiba-tiba di masa pemilihan terbongkar sedikit aibnya. Entah apa yang terjadi
padanya.
Militansi itu seperti ketika kita
meminum secangkir kopi. Mau tubruk, mau cappucino, mau kopi kampung, secangkir
kopi seharusnya tetaplah dihargai sebagai secangkir kopi.
Karena secangkir kopi bukan
dilhat dari kekurangannya. Ia dilihat dari kenikmatannya.
Seruput dulu mumpung masih sore
hari.