![]() |
Jawa Pos |
Saya pernah kerja di sebuah radio
berita..
Karena radio berita, maka isinya
mayoritas adalah berita. Dan radio tempat saya bekerja punya banyak sumber
berita selain menurunkan reporter di lapangan.
Sebelum resmi terlibat penuh,
kami diajarkan prinsip jurnalistik yaitu 5W 1H (Who, what, where, when, why and
how). Prinsip ini harus diketahui dulu sebelum sebuah berita diluncurkan.
Untuk menjaga prinsip itu, ada
yang namanya Redaktur. Dia yang bertanggung-jawab terhadap bagaimana dan kapan
sebuah berita naik untuk disiarkan. Tidak bisa seenak udelnya wartawan. Bahkan
sebelum mengambil beritapun, sudah ada briefing berita apa yang akan
dinaikkan..
Pada skala kecil, kebayang
rumitnya kinerja sebuah radio berita. Apalagi media nasional sekelas Jawa Pos..
Makanya saya ketawa keras ketika
Jawa Pos dengan "tega-teganya" mengambil berita hanya dari sumber
sebuah cuitan yang tidak jelas lagi akunnya.
Mulai dari Who sampai How nya
sama sekali tidak terpenuhi, bagaimana bisa berita sampah itu bisa dimuat di
media yang pernah dikatakan sebagai media dengan oplah terbesar se Indonesia?
Saya tidak mau membahas tentang
kepemilikan media yang katanya sudah dijual Dahlan Iskan itu, dan kemana
condong arah poltiiknya. Tapi sekelas Jawa Pos?? please dong ah..
Kalau itu media macam puyengan
ataupun blogspot murahan, okelah. "Ini Jawa Pos, men!" Temanku yang
pembaca setia media ini sejak dia kecil berteriak histeris, tidak percaya bahwa
apa yang dia percayai selama ini runtuh dalam satu momen saja.
Ya, media itu kepercayaan. Itu
yang ditanamkan sejak dulu oleh pimpinan radio kecil tempat saya bekerja. Media
harus melakukan "cover both side story" atau istilah sinetronnya cek
dan ricek.
Media tidak boleh termakan isu
ataupun membahas sebuah isu yang tidak jelas sumbernya. Karena "sekali
lancung ke ujian, seumur hidup pembaca tidak akan percaya.."
Jadi, saya yakin, apa yang
terjadi dengan peristiwa media sebesar dan sekelas Jawa Pos yang mengambil
sumber berita hanya dari cuitan di twitter dari akun yang tidak jelas pulak
jenis kelaminnya, akan menjadi pembelajaran besar bukan hanya bagi Jawa Pos,
tapi juga dari banyak media yang masih mengandalkan kredibilitasnya.
Karena sebuah media tanpa
reputasi, sama seperti seorang yang kemana-mana atasannya pake jas, tapi
bawahnya gak pake celana. Telanjang tanpa disadarinya. Ia ingin tampak bagus di
mata orang, tapi orang sudah kadung tidak percaya.
Bahkan sebuah permintaan maaf
saja tidak cukup. Bayangkan waktu yang harus dibangun kembali oleh media
sekelas Jawa Pos untuk merebut kembali kepercayaan pembacanya.
Karena kalau pembaca hilang, maka
hilang pulalah iklan sebagai sumber utama pendapatannya..
Minum kopi dulu, media yang dulu
pernah menemani hari-hari kecilku...
Seruput...