![]() |
Pembangunan Papua |
"Kenapa kamu selalu membela
Jokowi?".
Begitu pertanyaan dari sekian
ratus pesan yang baru kubuka pelan-pelan. Satu pertanyaan yang membutuhkan
seribu jawaban. Tidak cukup halaman jika harus membahas satu persatu apa yang
sudah ia lakukan..
Tapi cukuplah saudaraku di Papua
yang menjawabnya...
Ketika aku berkunjung ke sebuah
desa di Papua, aku menemui satu keluarga disana. Kala itu matahari mulai
terbenam, dan satu persatu lampu di rumah-rumah mulai dihidupkan..
"Listrik baru masuk di desa
kami dua tahun lalu.." kata sang bapak sambil mengunyah sirih di mulutnya.
"Dulu disini gelap gulita. Bahkan saya tidak bisa melihat orang yang duduk
di sebelah mengobrol dengan saya.."
Sang bapak tertawa getir
mengingat masa dimana selama berpuluh tahun Indonesia merdeka, ia baru
merasakan arti kemerdekaan yang sebenarnya. Baru merasakan..
"Anak-anak kami dulu belajar
pakai pelita..
Mata mereka pedih kena asap.
Semua kegiatan berhenti, karena tidak ada cahaya lagi. Kehidupan mati. Kami
baru bisa bekerja ketika ada matahari. Bapak bisa bayangkan ini ?" Tanyanya
sambil tersenyum penuh arti.
Tentu aku tidak bisa
membayangkannya. Aku yang sejak kecil selalu menikmati gemerlapnya cahaya dan
tidak pernah merasakan situasi dalam keadaan gelap gulita. Mati lampu memang
pernah kurasakan, tapi selalu ada sudut terang yang bisa kuandalkan.
"Bapak tahu bagaimana jalan
menuju kesini dulu? Truk-truk tenggelam dalam lumpur setengah badan. Mereka
berhari-hari menginap di hutan. Mereka rela begitu, kalau tidak kami bisa mati
kelaparan karena tidak ada bahan..
Kalau kami sakit, lebih pedih
lagi. Harus berjalan berhari-hari untuk sampai ke puskesmas saja. Kalau sedang
hujan, kami lebih terasing lagi. Tidak bisa keluar desa, juga tidak ada yang
bisa kesini. Kami pasrah, mau teriak harus teriak pada siapa?
Kami merasa bukan bagian dari
negeri ini. Jadi wajar kalau banyak dari kami minta merdeka. Setiap anak yang
lahir kami selalu tanamkan ke mereka, "kamu anak Papua, bukan anak
Indonesia.."
Ah, sebuah pengakuan yang jujur
yang datang dari seorang pejuang. Kini jalan menuju desanya sudah di aspal.
Truk yang mengantar bahan makanan lebih cepat datang. Harganya pun jauh lebih
murah karena harga bensin sudah sama dengan di Jawa.
Listrik sudah pakai tenaga surya.
Meski masih terbatas, sudah sangat cukuplah. Desa menjadi terang, kehidupan
disana pun berkembang..
"Bapak Jokowi itu bapak
kami. Kalau bukan dia jadi Presiden, entah bagaimana nasib kami. Sekarang Papua
sudah bukan anak tiri. Kami putra Indonesia lagi.." Senyum sang bapak
merekah memperlihatkan giginya yang memerah.
Cukup satu peristiwa yang
meruntuhkan kesombongan diri. Aku bukan apa-apa dibandingkan masyarakat Papua.
Yang tidak pernah ribut dengan semua kesenjangan yang ada. Mereka menjalani
hidup dengan apa adanya, sampai pemimpin yang mereka harapkan datang menyapa..
"Kenapa kamu selalu membela
Jokowi?".
Pertanyaan itu muncul lagi. Dan
aku menyeruput secangkir kopi yang menunggu untuk dinikmati.
Aku mulai mengetik kalimat,
menyampaikan apa yang selama ini aku pikirkan..
"Karena hanya dia yang mampu
menerapkan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tanpa
Jokowi, Papua pasti akan terus minta merdeka.
Itulah kenapa aku selalu membela
dia. Karena membela dia, berarti membela saudara-saudaraku di Papua.."
Rasanya secangkir kopi ini nikmat
sekali. Entah kapan aku kesana lagi.