![]() |
Ustad Instan |
"Kenapa ustad radikal itu
lebih laku daripada ustad NU?". Ini pertanyaan besar dari seorang
teman melihat tidak adanya jejak ustad NU muda yang terkenal dan digandrungi
banyak orang sekarang ini. Yang ada malah banyak dari HTI.
Dan kita coba jawab pertanyaan
ini dengan sebuah penggambaran..
Gerak perkotaan yang tumbuh
semakin cepat, menciptakan masyarakat yang juga bergerak dengan cepat.
Masyarakat urban ini dibentuk oleh situasi dan kondisi kota besar, sehingga
mereka punya gaya hidup yang selalu berubah mengikuti trendnya. Semua menjadi
serba instan dan mudah didapat.
Perubahan paling jelas terlihat
dari perubahan gaya makanan.
Masyarakat kota besar -terutama
generasi baby boomer dan milenial- sudah tidak punya banyak waktu lagi untuk
makan dengan makanan nuansa kampung dengan sajian komplit diatas piring.
Mereka sudah terbiasa instan
dengan adanya mie dan makanan fastfood seperti burger dan pizza. Pokoknya kalau
bisa gak bangkit dari tempat duduknya, itu lebih baik..
Dan situasi ini diperkuat dengan
semakin murah dan mudahnya mengakses internet...
Ketika manusia urban ini memasuki
fase rohani, hukum yang berlaku bagi mereka juga sama. Mereka cukup buka
internet dan melihat siapa ustad yang terkenal disana.
Mereka juga lebih sering googling
untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan dalam benak mereka dan mengamini
ketika itu datang dari seorang yang dipercaya sebagai "ustad" oleh
banyak orang.
"Banyak" menjadi ukuran
kebenaran. Yang dilihat kuantitas jamaah, bukan kualitas ceramah..
Tidak ada lagi diskusi
bermalam-malam tentang nilai-nilai. Masyarakat urban hanya butuh fatwa halal
dan haram sebagai hukum mereka. Tidak perlu bertanya - apalagi menggunakan
logika - kenapa ini haram dan kenapa itu halal.
Semua tersedia dalam bentuk
kemasan, tinggal buka bungkusnya, panaskan air dan tuangkan, lalu silahkan
makan. Persis mie instant..
Dan ustad2 radikal sangat
mengerti ini. Dengan kuatnya jaringan dan sumber daya mereka - termasuk
keuangan - mereka membangun konten2 ringkas berisi hukum dan fatwa yang
disesuaikan dengan kebutuhan jamaahnya.
Mereka juga berani membeli
slot-slot acara di televisi yang mahal, supaya bisa menciptakan
"penceramah2" muda dan bisa menguasai teknik berbicara.
Dan acara televisi yang
sebenarnya untuk konsumsi kota besar, dikonsumsi pula oleh warga daerah yang
sebenarnya "tidak siap makan fastfood", tapi apa daya daripada
dibilang ketinggalan jaman..
Bumbu pedasnya ada di "kontroversial".
Ketika kontroversial, maka ia
akan semakin dipandang dan dicari. Gak penting ilmu yang dalam, cukup seadanya
dan hapal beberapa ayat, lalu berjubah, jadilah ia seorang ustad. Makanya
banyak mualaf yang tiba2 menjadi ustad, karena memang diciptakan. Padahal
namanya mualaf ia seharusnya harus lebih banyak belajar daripada mengajar..
Inilah yang menciptakan supply
dan demand yang besar. Ada penawaran dan ada permintaan. Semua dibentuk oleh
pasar. Siapa yang menguasai pasar, dialah yang menguasai pembeli..
Sedangkan NU lebih rumit bagi
mereka...
Ibarat makanan, NU ini adalah
makanan kampung yang penuh dengan penyajian dan tidak cepat saji. Kalau ditanya
"haram" dan "halal", ustad2 NU lebih banyak memberikan opsi
supaya orang bisa berfikir dan menentukan pilihannya sendiri.
NU juga - sebagai kelemahan -
gagap terhadap teknologi. Ketika ustad2 instan itu sudah menerapkan sistem
franchise, orang NU tetap berprinsip "tidak buka cabang". Orang NU
lebih senang hadir di acara2 pengajian dan duduk mendengarkan ceramah.
Perbedaan model inilah yang
menjadi jurang pemisah yang lebar. Ustad NU kurang mendapat perhatian karena
sorot lampu tidak tersedia kepadanya, sedangkan ustad instant lebih hidup
ketika ada lampu kamera..
Bagaimana solusinya ? Kita
bicarakan nanti di tulisan kedua, soalnya terlalu panjang..
Selain supaya jangan bosan, di
sofa juga kurang enak untuk tiduran. Ini gara2 kejamnya jejak digital yang
mengcapture tulisan "ingin kawin lagi kalau jadi pilot".
"Mah, papah udah gak mau
jadi pilot.."
"Tetap tidur di sofa
!!"
Glek. Mendingan bikin kopi dulu
aja..