Prabowo pasti kesal bukan main..
Acara yang digelar yang ditujukan
untuk menyedot perhatian banyak orang dan diharapkan menaikkan
elektabilitasnya, sepi pemberitaan. Hilang sudah momentum bagus untuk
pencitraan, dia harus mulai kembali dari awal.
Bagi Prabowo, ini konspirasi
untuk menjatuhkan dirinya. Sejak lama Prabowo bermasalah dengan media yang
menurutnya "antek" seseorang. Dan ketidaksukaan itu tidak
disembunyikannya. Setiap ada wartawan dari media yang tidak disukainya, ia
selalu bermuka masam dan bermulut tajam.
Sebenarnya bukan kali ini saja
Prabowo bermasalah dengan media. Pada masa orde baru, ada cerita menarik dari
seorang legenda media, yaitu Goenawan Mohamad atau biasa dipanggil GM.
Pada bulan Juni 1994, Soeharto
murka karena Tempo menurunkan laporan utama yang mengkritik pembelian 39 kapal
perang bekas dari Jerman Timur oleh Menristek BJ Habibie. Tempo, Editor dan
Detik pun dibreidel, istilah menakutkan bagi media pada waktu itu yang berupa
pencabutan ijin terbit.
Dan Tempo termasuk media yang
melawan dengan menggugat di pengadilan meski yah sudah pasti kalah. Siapa yang
bisa melawan orde baru pada waktu itu ?
Nah, disini kejadian menariknya.
Menurut GM, Soeharto kemudian
mengutus Hasjim Djojohadikusumo, adik Prabowo. Tempo dipaksa memberi hak kepada
keluarga Soeharto dan Prabowo, untuk mengambil alih Tempo dan menentukan Dewan
Redaksinya kalau tidak Tempo mati selamanya.
GM melawan, "lebih baik
Tempo mati selamanya". Dan benar saja, Tempo akhirnya dimatikan. Hasjim
kemudian membentuk majalah Gatra sebagai pengganti Tempo, tentu dengan resep
sesuai keinginan penguasa.
Jejak sejarah tidak bisa
dihapuskan begitu saja. Dari kisah ini, kita bisa melihat apa kira-kira yang
akan terjadi pada media kelak ketika Prabowo berkuasa. Dan model seperti itu
bahkan sudah tampak sebelum dia resmi menjadi Kepala Negara.
Prabowo memaksa para wartawan dan
media memberitakan aksi reuni 212 dengan jumlah peserta sesuai yang dia
inginkan yaitu 11 juta jiwa. Tentu saja wartawan dan media tidak mau disetir
begitu saja, angka itu terlalu bombastis dan berbau propaganda. Media memuat
berita yang bahkan tidak ada di headline utama dengan jumlah puluhan ribu saja,
sesuai pernyataan dari Kepolisian.
Kebayang nanti tidak ada media
yang berani mengkritiknya. Dan model pemberitaan tanpa fakta dan data, akan
berseliweran di ruang baca kita. Kalau ada media yang sedikit berani, wah bisa
digeruduk pasukan "11 juta jiwa" yang siap mengamankan raja-rajanya.
Itu baru media mainstream, belum
lagi media sosial.
Kelak ketika kita ingin menulis
"kampret" saja, kita harus sangat sopan dan tidak boleh mencolek
perasaan mereka yang sangat sensitif itu. Kampret terpaksa ditulis dengan
bahasa baku seperti "sesuatu yang tidak boleh disinggung cara tidurnya..".
Gak enak, kan ?? Seruput dulu
kopinya.