Nama Umar Patek pasti tidak asing
lagi. Mendengar namanya saja darah mendidih..
Umar Patek adalah pelaku bom Bali
I tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang. Ia adalah anggota Jamaah
Islamiyah yang paling dicari pemerintah AS sampe Filipina. Bahkan Amerika
menjanjikan 1 juta dollar buat mereka yang membawa kepalanya.
Tapi itu dulu..
Umar Patek sudah mendapatkan
program deradikalisasi, atau pencucian otak kembali supaya ia bersumpah setia
pada Pancasila dan NKRI. Ia dirangkul bukan disiksa oleh BNPT dan Densus 88.
Dari Umar Patek lah, polisi bisa
mendapat gambaran jaringan JI yang sangat rumit berupa sel-sel terputus. Dengan
informasi ini, polisi berhasil mencegah banyak bom bunuh diri. Umar Patek
pernah menjadi pengibar bendera merah putih dalam upacara kemerdekaan RI.
Program deradikalisasi selama ini
sudah membuat banyak teroris yang dulu ganas, akhirnya kembali menjadi warga
negara Indonesia. Mereka malah menjadi tangan pemerintah untuk menyerukan
kembali rekan-rekannya supaya tidak menjadi teroris.
Lalu, apa yang salah dari program
pembebasan bersyarat Abu Bakar Baasyir oleh Jokowi ? Catat ya, bersyarat.
Ia merangkul dengan alasan
kemanusiaan, selain karena secara hukum Baasyir sudah boleh dibebaskan, untuk
menunjukkan bahwa negeri ini bisa menerimanya kembali jika ia mau mengikuti
syarat-syarat yang ditentukan. Syarat yang utama adalah setia pada Pancasila
dan kembali pada NKRI.
"Tapi, abang kan tidak
merasakan penderitaan orang di Bali yang kehilangan banyak saudara karena bom
itu.."
Kalau kita selalu kembali pada
masa lalu, tentu negeri ini tidak akan pernah seindah ini. Jika Umar Patek
pelaku bom Bali disiksa sampe mati, tentu polisi tidak akan mampu membongkar
jaringan JI yang sangat rapat dan rahasia itu. Jika tidak ada program
deradikalisasi, tentu akan lebih banyak lagi bom bunuh diri yang menghantam
Indonesia tanpa kendali.
Catat lagi, di Irak sempat
seminggu sekali terjadi bom bunuh diri. Di Suriah, di Afghanistan juga begitu.
Di Indonesia, meski ada beberapa kejadian bom bunuh diri, tetapi situasi masih
jauh lebih terkendali dari negara2 Arab sana. Ini karena program
deradikalisasi.
Mari kita doakan saudara-saudara
kita yang menjadi korban supaya mereka mendapat tempat yang layak disisi Tuhan.
Pengorbanan mereka tidak sia-sia, justru mereka adalah pahlawan karena mencegah
banyak korban lain.
Merangkul Abu Bakar Baasyir bukan
berarti tunduk pada terorisme, tetapi justru itulah bagian dari pencegahan
terorisme. Dari Baasyir, dedengkot teroris Indonesia, akan banyak dikorek
jaringan rahasia teroris di Indonesia.
Terorisme tidak akan mati, dengan
dibebaskannya Baasyir. Tetapi setidaknya kita bisa memetakan banyak hal sebelum
mereka beraksi kembali.
Saya lumayan mengerti program ini
karena pernah mengikuti mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dalam memanusiakan
para teroris supaya mereka bisa berbicara pada banyak orang untuk tidak
mengikuti jalan salah mereka.
Karena itu, sedikit banyak, saya
paham dengan apa yang Jokowi lakukan terhadap Baasyir. Bukan karena saya selalu
membenarkan apapun tindakan dia, atau menjadi penjilat yang dibayar untuk
memujinya.
Melihat sesuatu itu harus utuh,
jangan sepotong-sepotong. Dalam membasmi terorisme juga ada langkah politik,
tidak main hantam kromo. Kadang jalannya memutar panjang, supaya mendapat
banyak informasi. Kalau tidak mengerti, lebih baik diam dan mengikuti, bukan
malah teriak-teriak tanpa solusi.
Kapan-kapan kita minum secangkir
kopi. Biar saya ceritakan kisah salah seorang mantan Komandan Densus 88, yang
kerjaannya merangkul teroris dan membawanya ke rumahnya dengan segala resiko
dan ancaman yang ada.
Ada dunia yang berbeda dengan
dunia kita sehari-hari. Kita sulit memahami dunia mereka, tetapi begitulah yang
terjadi..
Seruput kopi sore ini ditemani
rintik hujan, memang nikmat sekali.