![]() |
Jokowi dan Menteri PUPR (Trans Papua) |
Dalam sebuah diskusi saya pernah
menyampaikan....
"Dalam berkomunikasi tentang
program atau keberhasilan, jangan selalu pakai angka, mainkan emosi mereka.
Karena angka tidak bisa menyentuh rasa."
Dan sesudah diskusi itu,
disepakatilah untuk membuat sebuah film tentang program pencabutan subsidi
listrik pemerintah. Hanya kali ini sudut pandang yang dibangun bukan lagi dalam
bentuk penjelasan dengan teori "ndakik ndakik" kenapa subsidi listrik
dicabut, tetapi mengambil sudut penjelasan tentang "berbagi".
Ya, berbagi. Banyak masyarakat
yang tidak tahu bahwa pencabutan subsidi listrik di kota besar, bisa membantu
pembangunan listrik di daerah terpencil seperti di desa-desa Papua yang baru
terang sesudah Indonesia lebih dari 70 tahun merdeka.
Konsep "berbagi" ini
menyentuh sisi kemanusiaan seseorang, apalagi ketika dihadirkan dalam bentuk
visual melalui video tentang perjuangan saudara kita di Papua yang listrik di
desanya baru saja menyala. Akhirnya, banyak yang paham kenapa subsidi
listrikbya dicabut dan mereka rela membayar sedikit lebih mahal demi berbagi
dengan saudaranya sebangsa.
Dalam berkomunikasi itu ada
"bahasa". Penting sekali untuk memahami bahwa tingkat pendidikan
masyarakat kita masih jauh dari terdidik untuk memahami sebuah tindakan.
Tulisan Denny Siregar sebelumnya,
2019 Peringatan Untuk Timses Jokowi.
Jadi, pakailah bahasa mereka.
Jangan seperti seorang Profesor yang sedang berhadapan dengan anak-anak SMP,
lalu menyampaikan dengan bahasa seorang Profesor pula. Tentu mereka tidak akan
mengerti, dan jika mereka tidak mengerti pesannya pasti tidak sampai.
Inilah yang masih kurang dari
pemerintahan Jokowi, caranya mengkomunikasikan program dan hasil kerjanya dalam
bahasa yang menyentuh emosi. Kebanyakan para akademisi yang berada di samping
Jokowi, selalu menggunakan bahasa teknis tentang "apa" dan
"kenapa" sebuah program dijalankan.
Malah kadang dengan infografis
yang penuh angka, yang bukannya membuat orang banyak mengerti, malah justru
mumet gak keruan. Sudah visualnya gak menarik, angka-angkanya banyak lagi.
Siapa yang bisa paham?
Jokowi sendiri sudah menorehkan
banyak prestasi dalam kerjanya. Bisa saya bilang, prestasi Jokowi ini adalah
revolusi, karena dalam waktu singkat ia mampu menghadirkan dari ketiadaan
menjadi ada. Seperti infrastruktur di mana-mana dari mangkrak puluhan tahun
lamanya.
Tapi, kedahsyatan ini akan
sia-sia belaka jika tim komunikasinya tidak mampu mengabarkan ke masyarakat
dengan bahasa yang mudah dipahami dan menyentuh emosi mereka.
Seperti sebuah lukisan. Meskipun
lukisan itu sangat bagus, tapi tidak ada nilainya jika lukisan itu tidak punya
cerita dan tidak ada yang menceritakan dengan membangun emosi penikmatnya.
Saya selalu mencontohkan
kehebatan kitab suci. Kitab suci itu bukan saja isinya yang hebat, tetapi cara
penyampaiannya saja sudah hebat.
Bayangkan, bagaimana menyampaikan
sebuah kebaikan kepada masyarakat yang pada masanya bodoh dan barbar? Tentu
harus ada kalimat metafora, pengandaian, bahasa pendekatan yang mereka kenal,
supaya pesan-pesan itu sampai.
Dan untuk membahasakan sesuatu
yang rumit menjadi sederhana, butuh cara pandang yang luas dan kecerdasan di
atas rata-rata.
Setuju, kan? Seruput kopinya.
Tagar.Id