![]() |
Wawancara Kyai Ma'ruf Amin |
Mungkin ini edisi pertama saya
menulis tentang KH Maaruf Amin. Saya seperti bersumpah tidak akan
menulis tentang beliau, sejak disahkan menjadi Cawapres Jokowi. Biar saya
menulis tentang Jokowi saja, saya anggap Cawapresnya tidak ada.
Kenapa? Bisa jadi saya sakit
hati. Meski saya tidak terkena langsung dari dampak apa yang dilakukan KMA,
tapi pada waktu kejadian Ahok itu saya menganggap beliaulah pintu utama dari
besarnya gerakan radikalisme berbaju agama di Indonesia pada saat Pilgub DKI.
KMA dulunya adalah Rais Aam PBNU,
yang berarti beliau berada pada posisi tertinggi di jajaran Nahdlatul Ulama.
Dan seharusnya NU adalah pintu gerbang untuk menjaga mewabahnya gerakan
radikali, bukan malah membukanya dan menyambut mereka dengan senang.
Tulisan saya berjudul, "Duh,
Kyai.." beredar dimana-mana dan dijadikan senjata oleh kaum kampret untuk
menyerang posisi saya sebagai pendukung Jokowi. Tetapi saya tidak menyesal dan
tidak akan menarik artikel saya yang saya tulis saat KMA menjadi saksi yang
memberatkan Ahok.
Karena saya harus jujur dan tidak
ingin tersandera oleh kecintaan saya kepada NU. Cinta bagi saya bukan hanya
bersifat pemujaan, tetapi juga kritikan supaya semuanya tertata dengan benar.
Dan ketika membaca KH Maaruf Amin
meminta maaf dan menyesal atas apa yang pernah dilakukannya, seketika rasa
sakit hati itu luruh dan menghilang tertiup angin. Saya tahu betapa berat
meminta maaf dan mengungkapkan penyesalan pada posisi beliau sekarang. Ia harus
menghancurkan egonya dan mengalahkan dirinya sebelum mengucapkan kata yang bisa
berdampak padanya.
Jika beliau saja bisa begitu,
lalu kenapa saya yang bukan siapa-siapa ini tidak bisa berbuat hal yang sama?
Kyai, saya juga meminta maaf
sebesar-besarnya atas apa yang pernah saya tulis dan yang saya ucapkan. Semoga
permohonan maaf ini diterima sebagai bagian dari silaturahmi dari anak ke
bapaknya. Masa lalu adalah masa lalu, dan kita bangun masa depan.
Tidak ada manusia yang bisa lepas
dari salah, tetapi semua manusia bisa meminta dan menerima maaf, sebesar apapun
kesalahan yang diperbuat. Karena jika Tuhan saja Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, janganlah kita menjadikan sombong sebagai pakaian..
Ah, berasa nikmat sekali kopi
ini. Rasanya begitu lega sudah meluapkan apa yang ada di dada ini.