![]() |
Tulisan Kafir |
"Apa
agamamu ?"
Tanya seorang
guru agama padaku. Aku heran dia bertanya begitu. "Bukankah kita muslim
?" Tanyaku. Dia tersenyum, "Benarkah kamu seorang muslim ?"
Tanyanya lagi. Aku tambah heran, ada apa guruku bertanya begitu padaku ?
"Setahuku
begitu.." Aku mencoba menebak kemana arah bicaranya. Dia lalu menatapku
dalam-dalam, "Jujurlah, benarkah kamu pasrah kepada Allah dan mengikuti
petunjuk Rasulnya ?"
Serasa ada air
dingin menyesap dijantungku. Maknanya dalam sekali. Aku jelas tidak akan pernah
berani mengklaim bahwa diriku betul-betul pasrah kepada Allah dan mengikuti
semua petunjuk RasulNya. Ngeri.
Karena aku tahu,
ketika aku mengklaim diriku seperti itu, maka ujian terberat yang datang bagai
gelombang menghantam berhala ciptaanku untuk menguji kemuslimanku. Aku akan
dikoyak-koyak olehnya, dibakar olehnya, seluruh duniaku dihancurkan, hanya
untuk memunculkan sisi kemuslimanku.
Jika aku
menjadikan kekayaanku berhala, semua akan dirampas. Jika kesehatan kujadikan
kesombongan, aku akan diberikan penyakit berbahaya. Jika anak dan pasangan
kujadikan harta, aku akan diuji oleh perilaku mereka. Karena ketika aku mengaku
sudah beriman, maka keimananku akan diuji pada level-level dimana aku mampu
bertahan.
Itu jika aku
tahan. Jika aku gagal, maka aku menjadi kafir yang sontak akan memaki situasi,
menghalalkan segala cara, merampas semua yang ada, menyakiti banyak orang dan
semua hal yang akan terus menerus berulang.
Dan jika aku
lolos dari semua penderitaan, maka ujian terberat akan datang, yaitu
kenikmatan. Aku akan terlenakan, terbius keagungan, haus pujian dan aku kembali
menjadi kafir karena kesombongan.
Beranikah aku
menyebut diriku muslim yang berarti berada pada kondisi pasrah kepada Allah dan
mengikuti petunjuk RasulNya ??
Ah, tidak.
Sontak diriku menunduk merenung. Runtuh semua "baju-baju" bagus yang
selama ini aku pakai tapi sedikitpun tidak melambangkan aku padanya. Pada
akhirnya aku mengerti, agama hanyalah sebuah jalan. Jalan yang harus dilalui
oleh manusia dalam kehidupan di dunia, supaya tidak tersesat di dalamnya. Yang
harus dilakukan manusia adalah sibuk mengenal jalan-jalannya, bukan sibuk
menghakimi jalan orang.
"Kita ini
seperti pelari yang berada di garis start, tetapi sudah mengklaim kita menang.
Muslim atau bukan hanya Tuhan yang punya hak menilainya.."
Guruku
mengakhiri pembicaraan sambil menyeruput kopinya meninggalkan diriku yang
tenggelam dalam airmata penyesalan.
Tuhan, betapa
aku sudah memakai baju kebesaranMu bukan saja untuk menilai diriku, tetapi juga
untuk menilai orang lain yang berbeda denganku. Aku tidak ubahnya iblis yang
mengaku dekat denganMu..
Aku kafir dalam
kemuslimanku..