![]() |
Menkes |
Jakarta -
Disebuah rumah sakit terkenal, saya memeriksakan anak yang katanya didalam
hidungnya sakit..
Seorang
dokter lelaki muda sesudah meriksa dengan biaya periksa yang lumayan bikin
kantung perih berkata, "Dia kena penyakit X. Harus dibedah
hidungnya.."
Kaget? Pasti.
Siapa sih orangtua yang tidak shock melihat anaknya yang masih kecil harus
berhadapan dengan meja operasi. "Kira-kira berapa dok biayanya ?"
Tanyaku agak gemetar. Rumah sakit ini terkenal dan pasti mahal. "Sekian
puluh juta. Ada asuransi?" Tanyanya.
Ouch. Benar
dugaanku. Dan aku pamit pulang. Sebagai kepala rumah tangga, mumet pun datang.
Kebayang repotnya mengurus ini itu. Belum lagi waktu terbuang karena pasti
nginap beberapa hari disana. Anak kecil gak bisa ditinggal.
Iseng telepon
seorang teman yang dokter di rumah sakit pemerintah yang terkenal murah. Dia
bilang, "Coba ke dokter ini. Dia dokter di RS ini juga. Praktek rumahnya
di alamat ini.."
Aku ikuti
kata temanku. Aku butuh second opinion, atau pendapat dokter kedua.
Sesudah
ngantri agak lama, akhirnya giliran kami masuk ke ruang dokter yang sudah
senior. Sederhana sekali ruangannya, beda dgn ruangan dokter muda di RS
terkenal itu. Proses pendaftarannya pun masih manual, pake kartu warna warni
dengan suster yang juga sudah berusia 60-an.
"Ah, ini
sih biasa. Anak kecil rentan kalau kena debu. Infeksi biasa. Kasih obat ini
aja.." Kata dokter senior itu. Biaya periksa 75 rebu rupiah dan obatnya
sesudah kutebus sekitar 200rebu rupiah kurang sedikit.
Dan benar,
besoknya sudah ada perubahan. Dua hari kemudian anakku sembuh. Untung tidak
jadi operasi yang makan biaya puluhan juta rupiah itu.
Kalau gak ada
duit, memang manusia cenderung kreatif. Beda kalau ada fasilitas sekarang
seperti BPJS, yang pasien cenderung ngangguk aja apa kata dokter. Dan dokternya
senang main bedah-bedahan, karena bayarannnya lumayan.
Modus dokter
beginilah yang disoroti dokter Terawan, Menteri Kesehatan. Dokter sekarang
banyak main operasi supaya dapat uang banyak.
Untuk operasi
sesar saja, kata Dokter Terawan, BPJS menanggung 260 triliun rupiah. Sedangkan
untuk operasi jantung, tahun 2018 beban biaya 10 triliun rupiah.
Jadi, gimana
BPJS gak tekor??
BPJS dibangun
sebagai konsep gotong royong supaya yang tidak mampu bisa disubsidi yang mampu.
Tapi itu tidak akan berguna jika dokternya tetap mata duitan.
Mungkin
banyak dokter yang lupa, bahwa profesi ini adalah profesi pengabdian, bukan
profesi mencari uang. Bayaran terbesarnya adalah pahala, bukan material. Kalau
pengen kaya, kenapa gak jadi pengusaha saja?
Saya kebayang
dokter-dokter senior yang mengabdikan dirinya, ada yang mengobati di perahu,
ada yang cuman bayar 10 ribu rupiah saja. Mereka tampak miskin di dunia,
sesungguhnya mereka adalah orang yang kaya kelak di akhir masa.
Sungguh,
sulit negeri ini akan maju, jika orang pintar belum bisa mengubah cara
berfikirnya..
Seruput kopi dulu, ah...