![]() |
Nadiem Makarim |
Jakarta -
Ternyata saya senang sekali dengan sejarah.. Saya belajar agama dengan membaca
sejarah. Belajar kehidupan dengan mengetahui sejarah. Belajar apapun selalu ada
nilai sejarah.
Terus, kenapa
dulu saya benci sekali pelajaran sejarah di SD, SMP sampe SMA??
Karena saya
dipaksa menghapal. Saya harus hapal tanggal lahir seorang pahlawan yang saya
juga gak kenal dia siapa. Kenal aja ngga, apalagi tanggal lahirnya. Belum
tanggal kapan beliau perang ma Belanda sampe tanggal gugurnya.
Otak dijejali
dengan angka, tanggal-tanggal gak berguna. Sampai nilai dari sejarahnya itu
sendiri hilang gak berbekas.
Padahal
seandainya si guru pandai bercerita, tentu sejarah itu akan membekas. Dan kita
belajar dari sejarah supaya kehidupan lebih baik kedepannya. Sejarah itu punya
nilai pelajaran yang tinggi, mulai dari kehormatan, komitmen sampai kelicikan,
kekuasaan dan ketamakan ada disana.
Tapi bagi
guru dulu, yang penting adalah "Tanggal berapa Wiro Sableng bertemu Sito
Gendeng??" Who cares!!
Entah gurunya
yang malas sehingga dia sendiri tidak paham nilai sejarah, atau memang
kurikulumnya begitu? Semua harus ada angka, karena angka penting untuk
penilaian.
Saya selalu
iri dengan anak-anak di negara maju, yang kalau diwawancarai stasiun televisi
mereka bisa lancar bercerita bahkan kadang bahasanya seperti orang dewasa.
Coba anak
kita diwawancarai, pasti gagap, bingung, takut dan malu-malu. Jangankan
bercerita, tampil aja mikir-mikir dulu. Kecuali anaknya artis yang suka pamer
rumah sama saldo ATM di Bank. Sejak kecil memang sudah dijual ortunya untuk
penghasilan, dipaksa untuk tampil di depan.
Dan ketika
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan sekaligus bos perusahaan besar GoJek, bilang
bahwa "Maaf, dunia tidak perlu anak-anak yang pandai menghafal.."
langsung pada kebakaran jenggot. Saya setuju sekali.
Sampai
sekarang saya tidak ingat kapan tanggal Indonesia perang dengan Singapura, tapi
saya paham ceritanya, tentang 2 orang marinir yang gugur bernama Usma dan Harun
di Singapura.
Konsep
pendidikan kita harus benar-benar diubah. Kalau tidak, kita punya banyak
penghafal tapi gak kepake di dunia kerja. Kalaupun kerja, cuman jadi robot di
perusahaan besar saja.
Saya sendiri
sudah lama paham, kenapa banyak orang Islam belajar agama jadi KADRUN? Karena
mereka dipaksa belajar dengan menghafal ayat-ayat saja. Dan kalau hafal, dapat
penghargaan sampe gratis masuk sekolah.
Tanyakan pada
mereka makna dan konteks ayat-ayat itu, pasti bengong. Soalnya di otak mereka
cuma hafalan surat sekian ayat sekian. Itulah kenapa masih banyak orang yang
sibuk belajar memanah dan berkuda karena sunnah katanya, tanpa memahami bahwa
perintah itu ada di jaman apa dan kenapa.
Jangan sampe
nanti anak saya kelak ditanya gurunya, "Jokowi lahir tanggal berapa??"
sampe tidak pernah mampu bercerita gambaran besar visinya untuk Indonesia.
So, Nadiem Makarim.. Tolong ubah konsep-konsep jadul
itu, dan tawarkan konsep generasi digital yang out of the box. Karena tidak
akan pernah ada perubahan, kalau kita selalu pakai cara yang sama.. Seruput
kopinya.