| Nusron Wahid ILC |
Sejak lama agenda untuk memecah
belah Indonesia sudah dilakukan oleh kelompok-kelompok yang ingin menguasai
negeri ini.
Isu itu semakin kencang pada era
pemerintahan Jokowi ini, dimana banyak yang kecewa berat ketika Jokowi
membelokkan ekonomi yang dulu berkiblat ke barat, sekarang lebih condong ke
timur. Mereka yang dulu berpesta-pora menggunakan model kapitalis harus mulai
menahan ujung dompetnya ketika Indonesia mengarah ke sosialis.
Karena itu, untuk menghambat laju
perekonomian negara kita yang diramal kedepannya akan memimpin ASEAN, maka
dihembuskanlah berbagai isu mulai rasial, PKI sampai agama. Ini barang dagangan
yang cepat laku di Indonesia. Yang rasial dibakar dgn api kecemburuan, PKI
dengan ketakutan dan agama dibungkus dengan kefanatikan.
Bergaungnya masalah surat Al
Maidah 51 untuk menghambat Ahok sebagai Gubernur DKI, sejatinya diharapkan
mempunyai skala yang lebih luas. Ahok hanya sebagai jembatan saja, tapi yang
diincar adalah kerukunan umat beragama di Indonesia.
Situasi yang terjadi menguji
hubungan antar agama di Indonesia. Seakan-akan dengan bekal ayat-ayat Al-quran
yang menjadi pegangan mayoritas penduduk Indonesia, membuat agama lain tidak
berhak untuk memimpin negara ini.
Jelas ini berbahaya, bisa
memantik kecemburuan di beberapa wilayah dimana umat muslim menjadi minoritas.
Mereka yang beragama Kristen, Hindu dan Budha yang dulu kakek dan neneknya
berjuang menumpahkan darah untuk kemerdekaan ini, akan merasa dirampas haknya
sebagai warga negara.
Dan ketika ayat-ayat Al-Quran
dipaksakan sebagai sistem hukum di negara yang berbasiskan Pancasila, jelas
kacau adanya. Negara mau dikembalikan pada situasi saat ada piagam Jakarta
sebelum dicabut, bahwa negara kita berdasarkan syariat Islam.
Lihat saja pergerakan mereka..
Cara mereka memainkan isu yang membakar melalui media online dan media sosial.
Edit, pelintir dan sebarkan untuk menggiring persepsi orang, memancing sumbu pendek
yang anunya buntet keluar kandang.
Untung ada Nusron..
Meski banyak cendekiawan muslim
yang turun memberikan pengetahuan bahwa Al Maidah 51 itu sejatinya bukan untuk
politik, tapi suara mereka, tulisan mereka nyaris tak terdengar ditengah
riuhnya suara mencaci dari umat di seberang jendela yang persis seperti
kumpulan ayam menjelang jam makan. Berisik.
Nusron Wahid tidak menyia-nyiakan
panggung yang diberikan kepadanya di acara TV nasional, ia langsung membantai,
membanting, menghajar, menabok, mencubit, mengkilikitik, menowel (makin lama
kok makin feminin ya?), pola pikir barbar yang ditanamkan oleh mereka yang sok
berperilaku ulama tapi otak dangkal.
Dengan suara menggelegar, ia
berkata keras, tegas dan pedas. Membuka ruang-ruang di akal mereka yang muslim
dan toleran. Mereka ini yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada si bebal
bergincu tebal. Mereka hanya ingin diyakinkan bahwa Islam adalah rahmat bagi
semesta alam.
Begitu juga dengan agama lain.
Mereka melihat Nusron sebagai
wajah Islam yang sesungguhnya, bukan Islam berpunuk onta. Mereka lega bahwa
Nusron menjadi perwakilan dari Nahdlatul Ulama yang masih menjadi organisasi
muslim terbesar di nusantara.
Dengan pernyataan Nusron, mereka
memahami bahwa Indonesia masih layak diperjuangkan, bukan karena siapa yang
paling mayoritas agamanya tetapi karena ini adalah tanah kita bersama..
Nusron malam itu seperti kopi
pahit bagi si rasis berotak dangkal, tapi manis ketika diseruput seluruh bangsa
Indonesia tanpa mengenal ras dan agama..
Untung ada Nusron..
Untung ada NU..
Seruput dulu, Gus..