![]() |
| Rohingya |
Beberapa waktu ini kita
disibukkan dengan banyaknya gambar tentang pembantaian di Rohingya. Kejadian terbaru di Rohingya
adalah saat penyerbuan tentara Myanmar ke Chein Khar Li, Rathedaung. Area
perbatasan negara bagian Rakhine, di mana desa itu berada, adalah tempat
tinggal sekitar 1 juta warga Rohingya.
Dikabarkan, penyerbuan ini adalah
upaya balas dendam militer Myanmar kepada militan Arakan Rohingya Salvation
Army (ARSA) yang menyerbu pos polisi dan menewaskan 12 orang.
Sontak, gambar-gambar tentang
kejadian itu meluas dengan cepat melalui media sosial.
Sayangnya, sedikit sekali dari
gambar itu yang sesuai fakta di lapangan. Kebanyakan adalah gambar palsu berupa
kejadian dari seluruh dunia; mulai dari kejadian gempa di China sampai
meledaknya tangki di Congo.
Gambar-gambar yang kebanyakan
berupa mayat dalam kondisi tersembelih atau terbakar mengisi ruang media sosial
kita dalam beberapa hari.
Bahkan mantan Menteri Komunikasi
dan Informasi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ikut menyebarkan gambar
hoax, meski kemudian menghapusnya dan meminta maaf kepada publik karena salah.
Wakil Perdana Menteri Turki Mehmet Simsek juga tercatat menyebarkan hoax dengan
mengambil gambar perang di wilayah lain tapi mengkaitkannya dengan Rohingya..
Sedangkan di belahan dunia lain,
terjadi pembantaian juga yang dialami oleh warga Yaman ketika dibombardir Arab
Saudi. Menurut Unicef, setiap sepuluh menit, satu orang anak meninggal di Yaman
dampak dari serangan Saudi. Puluhan ribu orang tewas dan ratusan ribu lainnya
mengungsi.
Peristiwa di Yaman ini seakan
tenggelam tanpa berita berarti, apalagi dibarengi demo ke Kedutaan Besar Arab
Saudi sampai pengiriman pasukan jihad oleh salah satu ormas di sini. Rohingya
menjadi begitu berarti daripada peristiwa Yaman, padahal korbannya-jika
parameter yang dipakai adalah agama-sama-sama Muslim.
Ternyata berbeda…
Meskipun kedua peristiwa itu
mempunyai tema yang sama, yaitu “tragedi kemanusiaan”, ternyata tidak serta
merta membuat orang tergerak untuk mengutuknya. Kalau bombardir Saudi ke Yaman,
itu lumrah karena mereka perang. Tapi kalau pasukan Myanmar menyerbu warga
Rohingya, itu kurang ajar karena pembantaian.
Permasalahan utamanya sebenarnya
bukan masalah agama, tetapi masalah kepentingan. Rohingya dianggap lebih
penting diberitakan daripada situasi di Yaman.
Untuk melihat perbedaan itu, kita
harus berkaca dulu pada Suriah.
Pemberitaan tentang tragedi
Suriah mirip dengan Rohingya, begitu massif dengan puluhan ribu gambar hoax
beredar melalui media sosial yang tujuannya untuk mendiskreditkan pemerintah.
Ada pembentukan opini, terjadi
kekejaman yang dilakukan Bashar Assad, Presiden Suriah, kepada “rakyatnya”. Dan
pembentukan opini ini didukung juga oleh media-media internasional seperti CNN,
BBC, Al-Jazeera, dan lain-lain.
Melalui pembentukan opini yang
semakin menguat ini, mulailah legitimasi penyerangan kepada Suriah dibuat.
Ribuan jihadis dari berbagai negara masuk ke Suriah dengan tema yang sama:
“Menyingkirkan pemerintahan Suriah yang terindikasi kejam dan Syiah, untuk menyelamatkan
muslim Sunni yang dibantai”.
Kenapa harus ada unsur
“Syiah”-nya ? Ya, supaya dramanya semakin kuat harus ada faktor agamanya.
Pada akhirnya terbuka sudah bahwa
peristiwa di Suriah tidak lain adalah kerjaan AS dan sekutunya, termasuk Saudi,
yang ingin menguasai pemerintahan Suriah demi menguasai jalur pipa gas di sana.
Jadi, pada akhirnya kita bisa
mengambil benang merah kenapa peristiwa Rohingya lebih massif beritanya
daripada Yaman. Karena di Rohingya ada “sesuatu” yang menarik di belakangnya,
dibandingkan Yaman yang murni adalah pertempuran tanpa ada embel-embel sumber
daya alamnya.
Dengan menggunakan frame yang
sama dengan Suriah, yaitu faktor agama-karena menunggangi faktor ini lebih
mudah dan murah meriah-maka cukuplah dibangun kebencian dulu baru agenda
selanjutnya beraksi.
Sedangkan Yaman tidak akan pernah
menjadi berita hangat, karena di sana ada kepentingan Saudi yang tidak lain
adalah sekutu mereka. Media internasional-yang dikuasai oleh beberapa gelintir
penguasa-tidak akan pernah menyerang sekutu mereka sendiri.
Bahkan Erdogan tidak akan mungkin
mengutuk kekejian Saudi seperti yang ia lakukan kepada Myanmar, karena biar
bagaimanapun Saudi adalah koalisi Turki di Suriah.
Inilah permainan persepsi dalam
pembentukan opini dengan menggunakan teknik-teknik canggih yang tidak disadari
banyak orang. Para pemain di belakang layar hoax production ini paham benar
bagaimana cara membentuk opini.
Aung San Suu Kyi akhirnya
bereaksi sama seperti Bashar Assad ketika wajahnya dibentuk sebagai “penjahat
kemanusiaan” oleh dunia Internasional.
Dengan keras ia mengatakan,
“Sentimen anti-Myanmar di berbagai negara adalah buah dari kampanye hoax untuk
mempromosikan teroris. Sentimen ini dibidani oleh gunung es raksasa berupa
informasi palsu..” teriaknya seperti laporan Deutsche Welle.
Mengerikan memang ketika
tangan-tangan internasional bermain dalam pembentukan opini demi kepentingan
mereka untuk menguasai sumber daya alam di suatu negara. Bisakah Indonesia
-satu saat- lolos ketika tangan-tangan raksasa itu sampai ke sini?. Mungkin
hanya secangkir kopi yang bisa menjawabnya..
Tulisanku di GeoTimes
