![]() |
Kursi Jabatan |
Saya pernah mengikuti seorang
pejabat negara dalam kunjungannya ke desa-desa terpencil. Satu hari mengikuti kunjungannya,
saya langsung lelah fisik dan mental. Berangkat dari tempat kumpul mulai pagi
hari dan baru sampai rumah dini hari. Siangnya saya diminta ikut lagi ke satu
tempat, tapi saya menyerah.
Sampai sekarang saya berfikir,
"Apa enaknya menjadi pejabat?"
Mereka cenderung tidak punya
waktu untuk dirinya sendiri, mungkin juga keluarganya. Mereka jarang punya
"me time" seperti yang biasa saya lakukan, di kamar, nonton dvd, buat
status dan jalan-jalan.
Bagaimana bisa punya "me
time", menjadi pejabat tiap hari harus bersosialisasi, menemui orang yang
sedang punya masalah dan mencoba memberikan solusi. Begitu terus setiap hari
sampai berakhir masa jabatannya.
Ketika melihat bagaimana Ahok
setiap pagi bertemu warga yang mengadukan masalahnya, saya sempat tersirat
"Apa dia gak capek ya?".
Ketika mendengar dari seorang
anak buahnya bahwa Dedi Mulyadi setiap hari punya jadwal turba ke desa-desa di
Jawa Barat selama 5 tahun, saya langsung merasa lelah. Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana rasanya seorang Jokowi.
Tapi itu mungkin yang dinamakan
passion atau hasrat. Ketika seseorang bekerja sesuai hasratnya, maka ia senang
melakukan pekerjaan itu. Pekerjaan dianggap bagian dari permainan sehingga
capek pun terbayar.
Banyak orang yang salah
mengartikan konsep "pejabat". Bagi sebagian orang, pejabat itu lebih
kepada sebuah prestise, sebuah gengsi.
Teringat pada masa Orba, para
calon menteri mengumpulkan seluruh sanak keluarganya dengan persiapan pesta
besar, menunggu telpon dari Presiden Soeharto. Dan - gilanya - mereka juga
mengundang wartawan. Jadi ketika Soeharto menelpon dan memberikan mandat untuk
memimpin kementrian, seluruh sanak yang ada disana berteriak kegirangan,
"Horee, akhirnya jadi Menteri..".
Saya pernah berada disana waktu
bapak seorang teman menunggu telepon untuk menjadi Menteri. Dan sampai sekarang
saya heran, kenapa mesti dipestakan? Apa yang hebat dari sebuah amanah yang
dibebankan di pundak? Seharusnya seluruh keluarga menangis, mengingat
tanggung-jawab yang begitu besar terhadap nasib jutaan rakyat.
Cara berfikir saya sejak dulu
anti mainstream memang. Dan lebih gilanya lagi, sesudah
pensiun, bapak teman saya itu kena stroke. Dia menderita post power syndrome.
Lagi2 saya heran, pensiun itu seharusnya yang dipestakan karena sudah terlepas
dari beban tanggung-jawab yang besar.
Entah kenapa jabatan yang
seharusnya bersifat amanah, bagi sebagian besar orang dianggap sebagai peluang.
Mereka gembira menyambutnya dan tidak rela kehilangannya..
Tambah gila, banyak yang
berhutang besar menjemput amanah itu. Dan ketika harus membayar, mereka
korupsi. Bukannya menangis waktu masuk bui, malah ketawa ketiwi.
Jadi sampai sekarang saya terus
bertanya dalam pikiran saya, "Apa enaknya jadi pejabat?". Ternyata beda memang pemikiran
seorang pejabat, bahwa ia mencoba berfungsi dgn kemampuannya kepada manusia
lain, dengan "pejabat" yang memanfaatkan situasi itu sebagai peluang
untuk memperkaya diri sendiri.
Padahal dia tahu bahwa apapun di
dunia ini tidak ada yang dibawa mati, kecuali amal2nya dalam berbuat baik..
Itulah kenapa saya sampai
sekarang selalu suka minum kopi. Pahitnya mengajarkan saya untuk tetap berada
pada rel kewarasan berfikir di tengah kegilaan dunia ini. Seruput..