![]() |
Kucing dengan bayangan Singa |
Aku punya teman masa kecil. Dia
sejak dulu pintar. Lama sekali aku tidak bertemu dengannya dan aku baru tahu
jika ia sekarang bergelar Profesor. Yang pasti aku menjadi bangga karena
mengenalnya.
Hingga satu waktu.
Baru aku tahu bahwa pandangannya
terhadap agama sangat dangkal. Ia rajin mencopas hadis dan ayat panjang di grup
pertemanan. Dan tiba-tiba ia menjadi orang paling beriman. Karena ia Profesor,
tentu banyak teman yang mengamininya. Dan mendadak ia menjadi rujukan. Semakin
dipuji, copasannya semakin panjang.
Aku muak, kutinggalkan grup yang
semakin lama semakin membosankan.
Hingga aku bertemu seorang teman,
yang ternyata ia adalah seorang psikolog. Ah, ada yang ingin kutanyakan
kepadanya. Kuceritakan kasus temanku itu dan kututup dengan pertanyaan,
"Kenapa ya, mereka yang seharusnya cerdas mendadak menjadi dangkal?". Temanku tertawa. Kami waktu itu
sedang minum kopi bersama.
"Jangan salah.."
Katanya. "Mungkin kamu menganggapnya pintar karena ketinggian gelarnya.
Tapi bisa jadi di strata yang sama -sama-sama Profesornya- ia terbuang.
Dianggap "kurang pintar" dan tersingkirkan. Karirnya mentok karena
jaringannya kurang.
Pada level kepercayaan dirinya
jatuh itu, ia mencari keseimbangan. Dan agama dijadikan sebagai pelampiasan.
Sama seperti ketika orang sedang dalam masalah besar, baru mencari Tuhan".
Ia menyeruput kopinya dan aku
mendengarkannya dengan wajah penasaran. Menarik sekali apa yang dia sampaikan.
"Pada saat pencarian itu, ia
bertemu seseorang yang dianggapnya pintar pada level agama karena bacaan
Alqurannya bagus dan aksesoris keagamaannya menawan.
Logika berfikirnya mendadak
hilang dan ia menjadi orang yang lupa daratan. Ia memperkuat ritualnya untuk
mencari keseimbangan. Ia ingin seperti orang -yang dia panggil ustad- yang
dipujanya luar dalam. Ia bahkan tidak mampu menentang teori yang disampaikan
gurunya seperti apa yang dilakukannya dalam bidang keilmuan. Bisa dibilang, ia
sedang mencari pegangan".
Malam semakin larut dan
keliatannya mendekati waktu pulang. Temanku melanjutkan. "Nah saat di grup
pertemanan, dimana ia yang paling tinggi gelarnya, mencoba menyampaikan apa
yang diketahuinya, ia mendapat pujian. Pujian itu sebenarnya juga datang dari
beberapa teman yang punya masalah dalam kehidupan. Mereka terintimidasi oleh
gelar Profesor yang dianggap pintar segalanya.
Karena mendapat pujian, temanmu
si Profesor seperti mendapat penghargaan. Hal yang jarang dia temui di level
pergaulannya yang seimbang. Dia langsung berada di zona nyaman.
Pada akhirnya ia akan sering
bergaul dengan mereka yang secara keilmuan lebih rendah darinya. Disana ia
mendapat pengakuan. Semakin sering dipuji, ia semakin nyaman. Situasi yang
sulit untuk dia tinggalkan.
Begitulah, kunang-kunang".
Temanku mengakhiri pembicaraannya
karena sudah semakin malam. Ia siap beranjak pulang meninggalkan aku yang
sedang tepekur sendirian, menyerap kalimat demi kalimatnya.
Temanku membayar minuman yang
kami pesan. Dan sambil beranjak pergi ia meninggalkan kalimat tambahan.
"Banyak orang kalah di level
pergaulan sosialnya, yang mencari kenyamanan di sisi yang ia bisa. Karena itu,
ketika ia berada dalam satu kelompok besar, ia seperti mendapat ruang
pengakuan.
Orang kalah bergabung dengan
kumpulan orang kalah, maka mereka seperti berbagi kekuatan. Beda dengan
pemenang, mereka biasanya lebih merdeka dalam menyampaikan sesuatu karena tidak
terikat gelar-gelar hasil kesepakatan.
Pemenang selalu berwawasan lebih
luas dan lebih toleran karena ia merasa sebanyak apapun ilmu yang ia cari,
tidak pernah cukup apa yang ia gali..
Dan itu bukan hanya terjadi pada
temanmu yang Profesor saja, bahkan pada level ulama pun begitu. Ada ulama
merdeka dan ada ulama yang terus menbutuhkan pengakuan dari mereka yang ilmu
agamanya dibawah dia. Karena pada level ulama yang setara dengannya, ia tidak
pernah mendapat tanggapan".
Aku tersenyum. Teringat seorang
temanku dulu pernah berkata, "Orang yang jarang mendapat penghargaan dalam
kehidupan sosial disekitarnya, selalu merasa menjadi yang terkuat ketika sedang
berada dalam komunitas atau kumpulan massa yang besar. Mereka membutuhkan
kemenangan dalam hidupnya dan itu tidak bisa didapatkannya ketika ia sendirian".
Kuseruput kopiku dan terasa ada
rasa syukur yang mengalir dalam diriku. Beruntungnya menjadi orang yang merdeka
yang tidak perlu mengukur dan tidak takut diukur oleh sesama manusia.
"Mereka yang akalnya
melemah, kebanggaan dirinya menguat.." Imam Ali as.