![]() |
Agama jadi alat politik |
Seseorang pernah menginbox saya,
"Jika kamu meninggal nanti, tidak akan ada yang menshalatkan jenazahmu
nanti".
Saya tersenyum dan dengan enteng
menjawab, "Alhamdulillah, saya bermohon lindungan kepada Allah dari mereka
yang bertuhankan Anies Sandi yang menshalatkan jenazah saya nanti.."
Dan seperti biasa ia memaki. Ciri
khas manusia yang bertuhankan emosi.
Pada akhirnya intimidasi itu
terjadi. Seorang ibu yang meninggal, jenazahnya sempat terlantar hanya karena
ia beda pilihan. Seorang menantu kesulitan, karena ketika mertuanya wafat, ia
harus membuat surat pernyataan, bahwa kelak ia akan mencoblos Anies Sandi baru
diberi surat-surat.
Sebenarnya para mayit pun tidak
perduli, apakah mereka di shalatkan atau tidak ketika tubuh mereka mati. Karena
memang mereka sudah tidak punya keterikatan di dunia ini, di alam materi.
Mereka yang hiduplah yang punya
tanggung jawab mengurusi. Para keluarga yang ditinggalkan pasti sedang bersusah
hati. Bayangkan ketika mereka sedang bersedih, harus tambah dipersulit oleh
orang yang keras hati.
Entah apa yang ada di pikiran
mereka yang bertuhankan Anies Sandi. Padahal sudah jelas ayat berkata,
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan
dan dosa yang nyata." (QS. Al-Ahzab : 58)
Ah, saya lupa. Kitab suci mereka
agak berbeda. Disana tuhannya keras dan tidak punya hati. Adil hanya kepada
golongannya sendiri.
Mereka menafsirkan kafir sesuai
kehendak sendiri. Mereka menghakimi munafik dengan nafsu yang tak tertandingi.
Nabi mereka selalu bersabda lewat
twitter. "Bakar dan buang ke laut mayat pendukung penista agama".
Mereka menyebutnya ulama. Saya menyebutnya durjana. Entah dari sisi mana saya
harus menghormatinya?
Melihat tingkah laku mereka
semakin hari semakin geli. Tapi mereka menganggap tindakan mereka berani.
Memang dunia mereka terbalik dengan dunia yang saya tempati.
Entah apa yang terjadi ketika
mereka nanti mereka berkuasa?
Lebih baik kubuat secangkir kopi.
Kuambil sesendok, kutambahkan sedikit gula, kuseduh dan kuseruput sambil acungkan
jari tengah kepada mereka. Mereka pasti tersenyum senang, "Itu berarti
tuhan itu satu, tapi ada di nomer tiga". Alamak..