![]() |
Agama dan Akal |
"Analogikan begini..."
Kataku sambil mengambil secangkir
kopi yang terhidang. Aku dan temanku berbincang tentang banyak hal dan kali ini
masuk pada bab kesempurnaan.
"Ketika seseorang itu kaya
setengah-setengah, maka ia akan condong memamerkan kekayaannya kepada orang
lain. Bahkan ketika ia bergaul dengan orang yang kekayaannya ada di atasnya,
orang itu tidak segan untuk membungkus dirinya dengan materi yang sebenarnya
diatas kemampuannya.."
"Contohnya?" Kata
temanku menyimak dengan serius..
"Contohnya, ia sebenarnya
hanya mampu beli mobil kijang. Tetapi karena sekelilingnya memakai mobil
alphard, ia memaksa dirinya untuk membeli mobil itu yang harga bahkan
cicilannya diatas kemampuan pendapatannya.
Akhirnya ia terbeban hutang besar
dan untuk membayar hutangnya, ia berhutang lagi. Begitu terus sampai ia
akhirnya jatuh bangkrut..
Disini kita belajar bahwa orang
yang kayanya setengah-setengah, kekayaannya belum sempurna. Karena belum
sempurna, ia menjadi labil dan selalu ingin menumpuk harta supaya dipuji dan
diakui..
Beda dengan orang yang
kekayaannya sempurna, baik secara materi maupun secara jiwa. Ia tetap stabil
karena ia mengerti, tidak ada kekayaan yang lebih besar dari rasa cukup. Orang
seperti ini merdeka dalam hidupnya dan tidak terbeban apapun.."
Temanku mengangguk tanda
mengerti. Dan akhirnya kami sampai pada titik akhir.
"Begitu juga dengan
beragama..
Orang yang beragama setengah,
merasa perlu menunjukkan dirinya kepada orang lain. Ia terlalu cepat membungkus
dirinya dengan aksesoris keagamaan, padahal kesadarannya belumlah sempurna.
Karena itu wajar kita melihat
bahwa banyak orang yang sibuk dengan aksesoris agama, berperilaku berlawanan
dengan nilai agamanya. Ia pakai gamis, tapi berwajah bengis. Ia kemana-mana
berpeci, tapi mencuri. Ia berjilbab, tapi sombongnya menguat.
Ia belum sampai pada kesadaran
sempurna, hingga dia menjadi labil. Mencari pengakuan atas keimanannya tapi
menunjukkan perilaku sebaliknya..
Padahal, ketika orang itu sudah
berani menggunakan aksesoris keagamaan -contoh aksesoris wanita yang diakui
dalam Islam seperti jilbab- tanggung-jawabnya sangat besar pada agamanya.
Karena ia harus menjaga agamanya dari fitnah. Jangan sampai agamanya sendiri
tercoreng karena perbuatannya yang buruk".
Temanku yang memakai jilbab
langsung mengkerut, merasa tersindir. Padahal aku tidak menyindir siapapun,
hanya bicara tentang sebuah konsep tanpa menghakimi. Aku ketawa melihat
wajahnya berubah.
"Memangnya kesadaran
sempurna dalam beragama itu apa ?" Tanyanya cemberut.
Kali ini aku tersenyum. Teringat
pesan ayahku sewaktu ia masih hidup, "Tugasmu di dunia ini adalah
berfungsi kepada manusia lain. Tanpa itu, hidupmu tidak ada gunanya. Kamu jadi
manusia yang merugi".
Kucoretkan pulpenku di atas
selembar tisu. Kuserahkan kepadanya dan ku seruput kopiku dengan nikmatnya.
Temanku membaca tulisanku.
"Puncak dari ibadah adalah akhlak.."
Sore itu mendung tebal, tampaknya
akan turun hujan..
"Agama adalah akal. Tidak beragama
orang yang tidak berakal.." Imam Ali as.