![]() |
Wejangan Gus Dur |
Saya punya teman SMP.
Dulu orangnya culun dan tidak terkenal.
Mendadak ketika reuni nama dia berganti menjadi - sebut aja - abu simelekete.
Saya sebenarnya mau ketawa hanya gak enak hati saja - soalnya dah lama gak
ketemu.
Dan si abu ini seperti biasa
mendadak ngustad. Anehnya, beberapa teman kayak dicocok hidungnya ketika si abu
bicara agama. Mungkin karena "abu"nya. Saya sampe becanda pake
peribahasa, kalah jadi abu menang jadi arab.
Lalu sekarang tiba-tiba kita
mengenal si Gatot Saptono alias Al Khatat -susah ejaannya- alias Al Kempinski.
Buat kita mungkin lucu, tapi
pertanyaan terbesarnya adalah kenapa banyak orang mendadak menjadi
kearab-araban?
Mereka bukan saja mengganti nama
Indonesianya menjadi nama arab. Tetapi bahkan cara berpakaiannya yang ke gurun pasir-gurun
pasiran. Mereka saling menyapa 'antum', 'akhy', 'ukhti' dan sebagainya.
Dan kalau ada yang ulang tahun,
berseliweran kata ucapan 'barakallahu fi umrik' dibales dengan ucapan
'Jazakallahu khairan'. Saya yakin, tidak banyak temanku yang tahu artinya
sekedar ikut-ikutan trend saja. "Biar lebih Islami.." katanya.
Saya sampe bengong,
"Perasaan saya dulu sekolah di Indonesia, kenapa tiba-tiba jadi banyak
warga Saudi?".
Ternyata saya mendapat jawaban
bagus dari Bupati Purwakarta, Kang Dedi Mulyadi.
"Jawa barat -dia berbicara
tentang daerahnya- kehilangan identitas dirinya, yaitu kesundaannya.
Dekatnya wilayah Jabar dengan
Jakarta, membuat banyak warga Jabar yang terkena arus modernisasi. Mereka ingin
berbicara seperti orang Jakarta, gaya hidup seperti orang Jakarta dan
lain-lain. Jakarta sentris, istilah kerennya. Padahal gaya hidup kota Jakarta
juga banyak di pengaruhi Singapura.
Kehilangan kebanggaan sebagai
"urang sunda" membuat Jabar kehilangan identitas dirinya. Pada saat
limbung itulah, Jabar dimasuki budaya timur tengah melalui penyebaran agama.
Ini yang dinamakan gegar budaya -
shock culture. Karena hilang kebanggaan kesundaannya, maka mereka menganggap
arab adalah segala-galanya, penyelamat identitas dirinya yang hilang.
Maka wajar, untuk menandingi
budaya barat yang mereka anggap haram, mereka memakai budaya arab sebagai
pembanding. Ini disebabkan lemahnya pengetahuan mereka tentang budaya aslinya
karena memang pemerintahnya yang tanpa sadar menghilangkan identitas budaya
mereka sendiri..
Seharusnya kita belajar banyak
dari Bali. Mereka banyak yang beragama Hindu, tapi tidak sama dengan Hindu di
India. Mereka punya budaya tersendiri yang menyatu dengan agamanya. Digempur
dengan arus modern dari berbagai macam bangsa di dunia, Bali tetap tidak kehilangan
Balinya. Tidak kehilangan identitas dirinya. Tidak kagetan..
Budaya asli kita sebenarnya penuh
pesan yang bermakna. Pesan-pesan itu adalah ajaran dari orangtua yang sudah
kita tinggalkan dengan alasan tidak cocok dengan zaman. Kita durhaka pada leluhur.
Cara melawan intoleransi yang
menguat karena kebanggaan agama, seharusnya dilawan dengan menguatkan budaya.
Simbol-simbol budaya harus muncul kembali sebagai pengingat bahwa negara kita
kaya akan ragam budaya.
Dan itulah yang menjadikan negara
kita satu dahulu. Kebanggaan akan keragaman budayanya.."
Saya merasa memang disitulah akar
masalahnya. Gedung-gedung kita di kota besar sudah meninggalkan simbol
budayanya. Modernisasi ditelan mentah dengan mencampakkan akar kita. Ditambah
kemiskinan, yang membuat orang menjadi tidak pintar dan mudah kagum akan budaya
luar sehingga mudah dimanfaatkan.
Dan ini terjadi dimana-mana di
banyak wilayah di Indonesia..
Lucu memang sekaligus miris
melihatnya. Seharusnya kita belajar pada secangkir kopi yang meski dihajar
dengan berbagai macam campuran, ia tetaplah secangkir kopi. Semua campuran itu
bukan mematikan rasa kopinya, tetapi malah menambah kenikmatannya.
Mungkin - untuk mengikuti trend -
saya harus mengganti nama saya dengan arab supaya Islami juga. "Denny Siregar
Al fukat bin abu suk" cocok kayaknya. Serufut ya, akhi.. ga serufut,
fentung..