![]() |
Nilai |
"Berapa bayarannya, bang?"
Tiba-tiba saya tersentak. Ada
perasaan campur aduk yang bergolak di dada. Entah ini rasa apa, kopi, teh atau
susu-kah..
Temanku menghubungi aku untuk
meminta pekerjaan. Dia sudah lama menganggur dan tidak jelas apa yang dia
kerjakan. Semakin lama usianya bertambah menuntut dia untuk menghasilkan. Tanpa
punya banyak pengalaman, tanpa spesialisasi apalagi jaringan.
Saya mengundang dia untuk sekedar
minum kopi di warung. Ada rasa kasihan dan keinginan untuk menariknya keatas
supaya dia bisa memperbaiki ekonomi dan martabat dirinya.
Tetapi apa yang saya dapat
membuat saya terhenyak, ia yang duluan bertanya bayaran untuknya berapa.
Pada waktu dulu awal mencari
kerja, saya adalah orang yang sangat tahu diri. Saya melamar ke sebuah
perusahaan. Saya sibuk mencari pekerjaan, bukan meminta-minta kepada orang yang
saya kenal.
Karena memposisikan diri sebagai
pencari, maka saya tidak memperdulikan berapa yang saya dapat setiap bulan.
Saya selalu menyerahkan semua kepada pemilik perusahaan. "Berapa saya
layak diberikan..." begitu jawab saya ketika ditanya mau dapat gaji berapa
per bulan.
Saya adalah pembeli pengalaman.
Buat saya kerja itu eksistensi, bukan uang. Uang adalah dampak dari apa yang
kita hasilkan. Semakin kita matang, tentu ada harapan supaya penghasilan
berkembang.
Dan ketika perusahaan tidak mampu
atau tidak mau menghargai kelayakan sesuai perkembangan kita, baik dari sisi
posisi maupun pendapatan, maka lebih baik keluar dan mencari tantangan yang
lebih tinggi.
Sekali lagi, yang dicari
tantangan. Uang mengikuti..
Saya tidak merasa rugi, karena
sebenarnya saya membeli pengalaman dari tempat bekerja. Karena proses itu tidak
instan - hitung hitung sekolah gratis tapi di bayar.
Lalu ketika teman saya yang
sedang menganggur, butuh eksistensi ini bertanya, "Berapa saya dibayar?"
Entah kenapa saya merasa sedih. Ada orang yang mengukur dirinya dengan
uang. Dia menciptakan ukurannya sendiri bukan berdasarkan apa kebutuhannya,
tetapi berdasarkan keinginannya.
Ia melihat dari pandangan dirinya
pribadi, bukan dari pandangan orang lain yang ingin menerimanya.
Ketika saya sudah diundang kesana
kemari untuk menjadi pembicara, selalu pengundang bertanya,
"Berapa saya
harus bayar abang ?" Saya suka tersenyum ketika saya berada di fase orang
yang menghargai berapa dan bukan saya yang menghargai harga saya berapa.
Dan sampai sekarang pun saya
tidak pernah menetapkan harga saya berapa. Karena uang bukan ukuran. Saya yakin
rejeki datang dari mana saja ketika kita tidak mengukur diri sendiri. Biar
Tuhan menentukan berapa harga kita sebenarnya, dan jelas jauh lebih besar dari
ukuran manusia.
Ternyata prinsip saya itu benar
adanya.
Rejeki malah bukan datang dari
jadi pembicara, tetapi datang karena kepercayaan dari banyaknya teman yang
melihat uang bukan segalanya bagi saya.
Banyak tawaran kerjasama yang
jauh lebih besar nilainya. Saya merasa menjadi manusia yang dinilai berdasarkan
apa yang saya miliki daripada angka yang saya tetapkan. Saya punya nilai, bukan
punya harga...
Kuseruput kopiku dan kusenyumi
teman di hadapanku. "Nanti kuhubungi kalau saya butuh kamu, ya..."
Dia terlihat kecewa karena merasa itu penolakan halus baginya. Biarlah,
setidaknya itu bisa menjadi pembelajaran baginya supaya dia berpikir dan mulai
melihat nilai dari dirinya bukan berapa harga dirinya.
Begitu banyak kegagalan yang
terjadi dalam kehidupan manusia bukan karena peluang itu tidak ada, tetapi
karena manusia itu yang menggagalkannya. Dan menariknya - ketika manusia gagal,
ia cenderung menyalahkan Tuhan atas kegagalannya.
"Ini ujian..." adalah
kata yang sering saya dengar dari mereka yang kalah..
Setidaknya secangkir kopi bisa
menghibur temanku saat ini. Kopi tidak pernah berhitung berapa yang ia dapat.
Ia bisa ada di kafe seharga 60 ribuan, bahkan di warkop seharga 3 ribuan.
Karena bagi kopi, ia sebenarnya
adalah nilai. Nilai dirinya adalah memberi kenikmatan bagi sekitarnya. Uang itu
hanya dampak dan nilai terendah berdasarkan kesepakatan manusia belaka.