![]() |
Minoritas |
"Trus, kami yang minoritas
ini bagaimana?”. Diskusi di GKI Pondok Indah Jakarta kemaren sore berlangsung
gayeng. Kami membicarakan banyak hal terutama tentang situasi di Indonesia.
Permasalahan "mayoritas" dan "minoritas" ini masih menjadi
momok dalam hubungan sosial kita.
Saya ingat dulu sekali, ketika
saya sempat gagal dalam berusaha. Beberapa teman berusaha menanamkan dalam
benak saya bahwa, "kamu kalah!!". Proses doktrin itu berlangsung
beberapa lama, sampai akhirnya saya pun "kalah". Saya tercipta sesuai
apa yang mereka cipta.
Selama beberapa waktu saya
menyendiri, mengurung diri dan mengasihani diri sendiri yang kalah. Saya
menyalahkan semua hal kecuali diri saya sendiri. Ada titik dimana akhirnya saya
sadar,
"Kenapa saya malah membuat
diri sendiri seperti apa yang mereka katakan ? Kenapa saya malah membuat mereka
menang ? Tidak. Saya tidak kalah. Saya pemenang. Akan saya buktikan kalau
mereka salah besar".
Mental positif mengalir di dada.
Saya tidak ingin selamanya membuat mereka tertawa. Fokus pada solusi, saya
menghentikan semua drama.
Dan proses tidak pernah
menghianati hasil. Setahap demi setahap saya bangkit dan memulai kembali
bangunan yang dulu hancur. Saya berhasil. Dan tertawa paling akhir.
Ketika akhirnya - setelah sekian
tahun - bertemu teman-teman yang dulu pernah mendoktrinasi, saya melihat mereka
tidak lebih baik hidupnya. Saya tahu kenapa. Mereka sibuk melihat orang lain,
sebagai benteng untuk melindungi kelemahan dirinya.
Tersadar kembali bahwa saya masih
di GKI, sebagai pembicara. Saya ambil microphone dan mulai berbicara..
"Konsep mayoritas dan
minoritas sejatinya hanyalah propaganda. Mereka membangun konsep bahwa mereka
mayoritas, melalui parameter agama. Itu supaya mereka terlihat kuat dan
berwibawa. Padahal mereka rapuh dan manja..
Yang jadi masalah besar adalah
ketika kita akhirnya tercipta seperti apa yang mereka ciptakan pada kita. Kita
menjadi minoritas sesuai pikiran mereka. Kita sendiri yang mengkotakkan diri
dalam sudut sempit yang mereka bangun untuk kita.
Padahal jelas, sebagai warga
negara, kita punya hak dan kewajiban yang sama. Di hadapan hukum, kita semua
sama.
Masak kita di tahun 2017 -tahun
tehnologi ini- kalah dengan para pemuda di tahun 1928 - dari semua suku, ras
dan agama - yang mendeklarasikan satu nusa dan satu bangsa?". Semua
terdiam. Mungkin sudah lama mereka terkungkung dalam keminoritasannya.
Kekalahan mental ini menjadikan
banyak orang eksklusif, bergaul hanya dengan kelompoknya. Membentuk
kelompok-kelompok kecil yang mudah ditindas, diintimidasi bahkan oleh sebuah
propaganda. Kuseruput secangkir kopi di depan yang disediakan oleh panitia.
"Tidak boleh ada sekarang
ini - siapapun itu - yang menggunakan parameter agama dalam kehidupan
bernegara. Semua sama, sama-sama anak bangsa.
Kalahkan diri sendiri dulu, bahwa
saya dan anda bukan orang kalah, bukan mayoritas dan minoritas dalam hal
bernegara. Bangun dulu mental positif di dalam dada. Jika kita saja kalah
dengan diri sendiri, bagaimana bisa mengalahkan orang lain yang menindas kita ?
Bangun kerjasama sosial dengan
berbagai kalangan. Bangun jaringan-jaringan tanpa melihat golongan. Viralkan
dalam bentuk gambar apa yang sudah dilakukan..."
Sudah sore, sudah waktunya
kututup pembicaraan ini.
"Propaganda lawan dengan
propaganda. Tempuh jalur hukum siapapun yang mencoba menindas kita. Jangan takut
dengan hasilnya, tapi takutlah dengan fakta bahwa kita sama sekali tidak pernah
berusaha..."
Aku merasakan aura positif mulai
merasuk di dada.