![]() |
Denny Siregar dan Ridwan Kamil |
Pagi-pagi buka facebook, eh rame
yang ngetag saya masalah jawaban Ridwan Kamil terhadap postingan saya. Disini
saya hormat kepada Kang Emil yang diantara waktu sibuknya mau menjawab
pertanyaan dari saya - yang apalah apalah. Jarang pemimpin seperti itu disini.
Dan sebagai rasa hormat saya, saya capture status kang Emil dan saya tampilkan
sebagai hak jawab beliau.
![]() |
Jawaban Kang Emil |
Hanya pertanyaan saya kembali lagi,
kenapa harus melalui masjid?
Apakah tidak ada model penyaluran
lain yang lebih netral dan plural seperti RT/RW misalnya, dimana semua orang
bisa mengaksesnya?
Keyakinan boleh beda pada setiap
manusia, tetapi ukuran fasilitas sebagai anak bangsa seharusnya semua sama
tanpa membedakan SUKU, RAS dan AGAMA. Tuh, saya kasih huruf kapital biar lebih
jelas.
Tapi akhirnya saya faham ketika
parameter yang dipakai kang Emil adalah AGAMA, sehingga ukuran
"mayoritas" dan "minoritas" adalah seberapa banyak agama di
satu wilayah. Apalagi kang Emil mempertegas di tulisannya, bahwa mayoritas di
fasilitasi dan minoritas di lindungi. Seakan-akan yang minoritas tidak butuh
fasilitasi.
Apakah si minoritas ini bukan
bangsa Indonesia? Yang berikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa,
sehingga harus dilindungi? Sebegitu lemah kah si minoritas sehingga hanya harus
dilindungi bukannya diberikan hak yang sama? Meskipun beragama Islam, kang Emil
seharusnya sadar bahwa sebagai pemimpin haruslah berdiri diatas semua
golongan..
Saya sebenarnya paham maksud kang
Emil, tapi -jujur- komunikasi kang Emil untuk hal ini sangatlah buruk. Apalagi
ditambah caption dalam statusnya "MAU DUIT? HAYU KE MASJID". Kang
Emil sendirilah yang membangun persepsi seolah-olah untuk ke masjid saja, orang
harus diiming-imingi kredit.
Ghirah keagamaan sih boleh-boleh
saja akang, tapi tetap harus ditempatkan ke arah yang benar. Jangan malah
membuka ruang lebar perbedaan dengan membedakan fasilitas berdasarkan "apa
agama seseorang". Hatur nuhun... Abdi nyaruput kopi heula kaburu dingin ieu...