![]() |
Anies dan Jokowi |
Orang bilang,
“Serang atau dukunglah orang terkenal, niscaya kamu akan dikenal..”
Pertarungan ditubuh
Golkar dengan terancamnya posisi Setnov sebagai Ketua umum karena kasus e-KTP,
memunculkan kembali pertarungan lama perebutan partai besar itu untuk kendaraan
pilpres 2019.
Setnov yang sudah
mengumumkan bahwa Golkar akan kembali mendukung Jokowi, akhirnya harus menerima
akibat karena kesalahannya korupsi.
Dan itu memunculkan
kembali peluang JK menguasai Golkar, sesudah sebelumnya pertarungan itu
dimenangkan oleh Luhut Binsar Panjaitan.
JK sudah lama
mempersiapkan hal ini. Posisinya sebagai Wapres Jokowi ternyata tidak seperti
yang diharapkannya untuk bisa menguasai pemerintahan. Jokowi terlalu digdaya,
sehingga perannya terbatasi.
Bukan rahasia umum,
bahwa peran JK sangat kuat pada Pilkada DKI Jakarta lalu dengan mendorong Anies
Baswedan. Dan strateginya berhasil, Anies naik menjadi Gubernur. Posisi yang
bagus untuk menaikkan nama Anies saat bertarung di pilpres nanti..
Salah satu strategi
mencolok dari Anies untuk menaikkan namanya adalah dengan menyerang kebijakan
Ahok di masa lalu.
Kenapa begitu?
Pertama, karena Ahok terkenal sehingga ketika Anies menyalahkan Ahok maka
namanya akan naik karena menjadi perbincangan di media.
Kedua, Ahok menjadi
ikon pembeda yang tegas antara pribumi vs non pribumi, sehingga dengan
mengkritisi kebijakan Ahok, Anies memposisikan diri sebagai “muslim yang
pribumi” melawan seorang “kristen yang cina”.
Ini bagus untuk
kampanye menunggangi isu yang sudah sejak awal dibangun terhadap perlawanan
kepada cina melalui TKI ilegal China, investasi China, China yang komunis dan
apapun yang berbau China.
Tim kampanye mereka
paham betul, tidak banyak orang Indonesia yang bisa membedakan antara negara
China dan peranakan Cina. Pokoknya, sama-sama Cina..
Nama Anies terus
didongkrak ke permukaan dengan memunculkan berita-berita kebijakannya yang dibangun
supaya “tampak” blunder. Kebijakan “blunder” ini diharapkan bisa memancing
reaksi pro dan kontra untuk berdebat dan menyerang pribadi Anies.
Dengan begitu,
Anies akan mendapat simpati sebagai orang yang selalu diserang. Dan simpati
adalah senjata penting untuk memenangkan pilpres karena sebagian besar pemilih
kita masih memilih berdasarkan emosional, bukan rasional.
Loh, Prabowo kok
gak disebut?
Prabowo dipakai sebagai
jembatan saja. Jika Golkar tidak berhasil direbut, maka Anies tetap bisa
diangkat sebagai cawapresnya. Tapi jika berhasil, Prabowo akan ditinggal
menangis sendirian karena cukup Golkar koalisi dengan PKS saja, maka koalisi
itu bisa mencalonkan Capres sendirian.
Karena itu kita
juga melihat bagaimana Sandiaga Uno membantu dengan terus menyerang Ahok,
karena itu berarti peluang baginya untuk menjadi Gubernur bisa lebih besar.
Psikologi massa
yang cenderung melahap apa yang disajikan media, benar-benar dimanfaatkan oleh tim
kampanye Anies, yang kabarnya dikomandani Eep. Diluar itu, mereka memakai
strategi yang sama spt di Pilgub DKI dengan menguasai masjid sebagai basis
kampanye mereka dengan meluncurkan “perlawanan terhadap komunis dan Cina”.
Lalu, apa kira-kira yang bisa dilakukan Jokowi menghadapi situasi ini?
Apa yang dilakukan
Jokowi sudah benar, terutama dengan menggandeng kelompok Islam moderat seperti
NU sebagai pemecah suara, supaya tidak ada yang bisa mengklaim bahwa “suara
Islam” hanya milik kelompok lawan politiknya saja.
Jokowi bisa juga
mengangkat cawapres dari kelompok Islam moderat sebagai senjata bahwa dia juga
Islam. Jangan angkat Puan, karena selain dia wanita -yang sangat mudah
diserang karena gendernya- juga kartu mati bagi dirinya.
Ikim politik kita -harus diakui- masih belum dewasa karena masih sibuk dengan isu agama dan
gender sebagai senjata.
Dan senjata penting
Jokowi lainnya adalah dengan memainkan isu yang sama dengan yang dilakukan
lawan politiknya, yaitu menjadi pihak yang terzolimi. Biarkan isu PKI dan China
itu berkembang dan hantam dengan fakta bahwa isu itu hanya fitnah untuk
menjatuhkan seorang pemimpin yang “baik, muslim dan dekat dengan rakyat”.
Citra “muslim”
penting sekali bagi Jokowi untuk mengcounter isu yang menyerangnya.
Jika ini terjadi,
kita harus menepuk pundak pak Prabowo untuk kesekian kalinya. “Bapak pintar
melihat siapa macan sebenarnya, tetapi bapak selalu dilahap macan yang pernah
bapak pelihara..”
Itulah kenapa kita
harus terus mendorong pak Prabowo untuk fokus pada kuda, karena kuda tidak
pernah melahap tuannya. Meski harus waspada juga karena kuda bisa menendang
dengan kaki belakangnya..
Diramalkan, situasi
Pilpres 2019 akan jauh lebih panas dari 2014 dan Pilgub DKI 2017. Siap-siap,
teman akan tersaring lagi dan unfriend massal akan terjadi lagi..
Seruput dulu
kopinya...