![]() |
Jokowi |
Tiba-tiba ayah saya meninggal..
Bukan saja meninggal, ayah saya
meninggalkan hutang yang sangat banyak. Sebagian hutang jatuh tempo bahkan ada
yang sudah lewat. Rumah dikepung debt collector dari beberapa pihak.
Saya anak sulung, mengemban
tanggung jawab besar terhadap keluarga. Apa yang harus saya lakukan?
Mau tidak mau saya harus berpikir
keras, supaya keluarga ini tetap makan. Keputusan terakhir yang sangat sulit
adalah menjual rumah yang kami tinggali.
Rumah ini sebenarnya
menguntungkan, karena posisinya persis di pinggir jalan.
Dan kami punya toko
handphone dengan pelanggan tetap yang setiap hari datang. Sayangnya, hasil
penjualan handphone tidak cukup untuk membayar bahkan bunga hutang.
“Nanti...” Saya berjanji dalam
hati. “Saya akan beli kembali rumah ini..”
Saya jual dengan harga yang
tipis, sekedar buat melunasi hutang dan sisanya bisa untuk makan dan memulai
usaha kembali.
Inilah gambaran sederhana situasi
yang terjadi pada penjualan Indosat tahun 2002 lalu..
Krisis ekonomi 1998, salah kelola
karena korupsi besar2an rezim Soeharto, membuat negara hampir bangkrut.
Pertahanan negara lemah, krisis pangan di depan mata, kepercayaan investor
anjlok ke titik terendah. Mau hutang lagi, sudah tidak dipercaya.
Kalau dibiarkan, akan terjadi
pemberontakan besar2an, yang mengakibatkan perang saudara.
Akhirnya keputusan pun dibuat.
Megawati - sebagai Presiden waktu itu - bersama DPR dan MPR, memutuskan menjual
salah satu aset berharga negara yaitu Indosat.
Harganya murah, 5 triliun rupiah.
Singapura mengambil kesempatan bangkrutnya Indonesia dengan membeli saham Indosat.
5 tahun kemudian Singapura mendapat untung berlipat dengan menjual saham
Indosat kepada Qatar sebesar 16 triliun rupiah..
Bagi Singapura, 5 triliun rupiah
itu kecil.
Tapi tidak bagi Indonesia pada
waktu itu yang sangat butuh uang. Dengan uang 5 triliun rupiah itu, ekonomi
bergerak kembali meski terbatas. Dan yang terpenting, bergeraknya kembali
ekonomi memunculkan kepercayaan baru dari investor dan bank bahwa Indonesia
bisa bangkit kembali.
Sejak Jokowi memimpin, keputusan
Megawati terhadap penjualan Indosat terus digugat oleh pihak-pihak yang ingin
menjatuhkan namanya.
Ironis, karena mereka yang
menggugat itu adalah mereka yang juga terselamatkan ekonominya karena ekonomi
Indonesia gerak kembali sesudah negeri ini mendapat dana segar hasil penjualan
Indosat.
Dan masih banyak orang yang
menyamakan situasi jaman bangkrut itu dengan situasi saat Jokowi menarik
investasi dari penjualan saham BUMN. Padahal waktu, kejadian dan peristiwa
berbeda. Dulu situasi di Indonesia sangat genting.
Sekarang situasi berubah
karena cara pengelolaan sudah benar..
“Lha terus kapan beli kembalinya
? Janjinya dulu bisa buyback ?”
Buyback itu mudah. Karena sudah
dipercaya Bank, Indonesia bisa saja meminjam uang untuk membeli saham Indosat
yang pasti harganya sudah puluhan triliun rupiah.
Tapi itu sudah bukan prioritas.
Masih banyak yang harus dibangun selain membeli saham Indosat. Jalan, bandara,
listrik sampai Freeport adalah prioritas utama. Indosat bukan penentu ekonomi
negara. Dia hanya sebuah simbol saja.
Simbol itu akan diambil kemudian,
ketika negara sudah mapan dan ada uang lebih dari hasil geraknya pembangunan.
Kecerdasan di sini sangat penting dalam mengambil keputusan, bukan hanya faktor
emosional saja..
Indonesia bukan seperti pak
Friedrich, yang keluar negeri spend 3 milyar sampai 5 milyar dan suka
kemewahan. Kita masih merangkak hanya sekedar untuk bertahan dari salah kelola
masa lalu yang sudah pada tingkat parah..
Seperti secangkir kopi yang tidak
mungkin terhidang di meja begitu saja. Ia harus melalui perjalanan panjang
sekedar untuk memberi kenikmatan pada lidah yang mengerti bahwa kekayaan itu
terletak pada prosesnya, bukan hasilnya..
Seruput dulu, wahai bani micin
yang mulia...