![]() |
Monas |
Gayung tak bersambut. Rencana
Anies untuk mengadakan Natal di Monas, ternyata “ditolak” oleh banyak gereja,
termasuk Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia atau PGI.
Sesudah Pilgub DKI yang penuh
kontroversi dan terindikasi SARA, Anies mencoba merajut kembali “tenun
kebangsaan” yang ternyata sudah koyak itu.
Hanya yang tidak
diperhitungkannya adalah tenun kebangsaan itu bukan sejenis kain yang mudah
disatukan kembali oleh benang. Ia adalah jiwa-jiwa yang sekarang terluka akibat
politisasi agama berlebihan.
Merajutnya tidak cukup hanya
dengan merangkul, tetapi harus dengan ketulusan hati yang dalam. Nyatanya umat
Kristen di Indonesia, banyak yang tidak melihat ketulusan hati itu.
Anies dan Sandi mencoba merayu
pihak Gereja dengan berjanji akan membayar semua kebutuhan dalam perayaan Natal
itu melalui APBD.
Bukan, bukan itu…
Kalau masalah uang, kita yakin,
pihak Gereja akan jauh lebih dari mampu untuk sekedar membayar perayaan Natal
sebesar apapun dan dimanapun. Anies dan Sandi tentu salah besar jika berbicara
uang. Mereka tidak memahami akar masalah yang lebih dalam.
Pihak Gereja mencium ada
ketidak-tulusan dalam undangan itu. Ada nuansa politisasi, penunggangan atas
nama umat dan hari besar umat Kristen oleh kepentingan politik tertentu.
Mereka lebih baik mundur teratur
dan berkilah dengan sopan, bahwa Natal akan diselenggarakan di indoor saja dan
penuh dengan kesederhanaan.
Sikap PGI dan beberapa Gereja ini
seharusnya membuat Anies Tafakur, merenung lebih dalam “apa yang salah” dari
semua ini. Tidak mudah merangkul -apalagi dengan niat yang ditunggangi kepentingan-
sesudah menonjok kuat-kuat, lalu berbaik-baik memberi makan.
Saudara-saudara yang Kristen memang mengamalkan ayat kasih mereka, “siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu (Matius 5:38-39)”.
Tetapi meski secara raga mereka
menerima situasinya, secara batin tentulah tidak mudah untuk menyambung kembali
tali itu.
Apalagi sesudah mereka selama
beberapa bulan dituding “kafir, tidak berhak memimpin negeri ini sampai
penghinaan terhadap symbol-simbol keyakinan mereka yang dibiarkan begitu saja
tanpa ada tindakan hukum yang berarti”.
Pasti sangat menyakitkan...
Inilah langkah politis PGI yang
paling keras yang pernah saya lihat. Sebuah perlawanan halus berdekatan dengan
perayaan hari besar keagamaan mereka.
Semoga ini menjadi pelajaran
besar bersama, termasuk semua politisi dimanapun berada. Bahwa tidak selayaknya
agama dicampur-adukkan dalam politik dan dijadikan acuan dalam kehidupan
berbangsa. Lukanya akan menjadi sangat dalam dan sembuhnya lama.
Ah, Natal tahun ini penuh dengan
pesan yang tersirat dalam bentuk tindakan.
Semoga secangkir kopi tetap
menjadi perekat diantara kita, karena dalam kehidupan berbangsa tidak ada yang
kedudukannya lebih tinggi maupun lebih rendah. Semua sama dalam merasakan
nikmatnya..
Salam Natal, saudara-saudaraku
dalam kemanusiaan. Salam hormat untuk kalian semua dimanapun berada.
Dari saya, sesama anak bangsa..