Begitu kata orang. Kawan jadi
lawan, lawan jadi kawan. Begitu juga yang terjadi pada Ridwan Kamil. Pasca
penahanan Setya Novanto sebagai tersangka E-KTP, situasi tiba-tiba berubah
drastis, terutama untuk RK yang sudah yakin mendapatkan tiket untuk menjadi
Calon Gubernur Jabar.
RK awalnya didukung oleh Nasdem.
Kemudian menyusul dukungan dari PKB dan PPP. Dengan dukungan tiga partai itu,
RK sebenarnya sudah bisa mencalonkan diri menjadi Cagub Jabar, karena ia total
mendapat dukungan 21 suara.
Tapi ternyata RK tidak cukup
dengan itu...
Ia melobi Golkar untuk mendapat
dukungan juga. Ini sebenarnya aneh, karena RK tidak perlu mengusik Golkar
dimana disitu ada Kang Dedi Mulyadi.
RK sudah cukup suara, untuk apa
lagi menambah-nambah suara?
Dan drama korea pun terjadilah..
Dedi Mulyadi tersingkir dengan
menyakitkan. Ia ditendang dari partai yang ia turut membesarkannya. Sedangkan
RK bertambah suaranya menjadi 38 suara, lebih dari cukup untuk mencalonkan
diri.
Situasi Dedi Mulyadi yang
tersakiti pun mendapat perhatian PDIP. PDIP terus mendekati Dedi Mulyadi,
karena di Jabar PDIP memang tidak punya kader yang mumpuni utk menjadi Cagub.
Tapi rupanya RK belum puas dengan
perolehan 38 kursi. Ia mendekati PDIP, berusaha menarik PDIP yang mempunyai 20
kursi di Jabar. RK berusaha mendapat rekor 58 kursi untuk menjadi Cagub Jabar.
Menakjubkan...
Apakah itu menguntungkan bagi RK?
Saudara, ternyata itu langkah
blunder. RK seperti orang kemaruk yang terus saja mengambil jatah makan orang
lain. Yang terjadi, ia kekenyangan dan malah bingung sendiri, “Siapa yang layak
jadi Cawagubku nanti?”.
baca PDIP KE DEDI MULYADI
Golkar yang punya 17 kursi di
Jabar, mendesak RK untuk memilih Cagub dari partainya. PPP tidak mau kalah, RK
harus memilih Cawagub dari partainya. Belum lagi PKB. Hanya Nasdem yang
tenang-tenang saja, karena mereka hanya punya 5 kursi jadi tahu diri lah.
RK kelimpungan. Didesak sana
sini, ia tidak kunjung mengambil keputusan. Gerbongnya terlalu besar. Semua
ingin ambil bagian..
Dari sini sebenarnya kita bisa
tahu kapasitas seorang Ridwan Kamil.
Ia ternyata tidak mampu mengambil
keputusan cepat, tepat dan tegas. Terlalu banyak menimbang, merangkul, bingung
sendiri apa yang harus dilakukan..
Yang terjadi adalah serangan
balik yang mengagetkan..
Golkar berubah. Sesudah dipimpin
oleh Airlangga Hartarto, Golkar mengambil keputusan cepat, menarik dukungannya
karena merasa dipermainkan. “Wong kursi kita paling besar, kok enak aja kita
ditimbang-timbang..” begitu kira-kira pikiran Golkar.
RK masih santai, karena ia hanya
kehilangan 17 kursi dari Golkar. “Toh masih ada 21 kursi..” pikirnya.
Belum selesai, tidak berapa lama
PPP pun mengoreksi dukungan. Wah, ini bahaya. Jika terjadi, RK tinggal punya 12
kursi dukungan, padahal minimal sebagai Cagub harus punya 20 kursi.
RK tidak berhitung dengan cermat,
Pilkada Jabar ini berdekatan dengan Pilpres 2019. Dan Jabar pada tahun 2014
lalu, adalah lubang hitam kekalahan Jokowi-JK sebanyak 4,6 juta suara.
Jadi bisa dilihat bahwa Golkar
dan PDIP harus bersatu untuk bisa merebut kembali Jabar. Dan ketika mereka bersatu,
bisa jadi PPP dan Nasdem (atau mungkin PKB) ikut merapat bersamanya..
RK?? Say Goodbye...
Dari sini kita bisa mendapat
pelajaran berarti bahwa kata “cukup” seharusnya bisa menjadi alarm dini.
Terlalu berlebihan malah menjadi tak berfungsi. RK yang tadinya menjadi
harapan, mendadak lunglai tak bertulang...
Ah, mungkin RK butuh secangkir
kopi. Untuk bisa menenangkan diri dan berfikir kembali, bahwa ada yang harus
diperbaiki. Popularitas bukanlah segalanya. Tapi kerendahan hatilah yang akan
memenangkan pertarungan sejatinya. Seruput dulu, kang Ridwan Kamil. Semoga
semua baik-baik saja..