![]() |
Indonesia |
Memang tahun ini weekend saya
banyak saya habiskan di Gereja. Saya berkunjung dari gereja ke gereja, diundang
oleh baik gereja Katolik maupun Protestan. Ngapain aja? Ya, apalagi kalau bukan
bicara kebangsaan, tentang negeri yang tercinta.
Kenapa mesti takut ke tempat
ibadah umat lain? Saya pun heran dengan sikap paranoid sebagian manusia yang
begitu rapuh imannya.
Apakah kemudian dengan berkunjung
ke tempat ibadah saudara-saudara saya yang bukan seiman, membuat iman saya berubah?
Ah, agama itu petunjuk bagi saya. Jalan menuju kebaikan.
Jangankan sempat berfikir
petunjuk lain, petunjuk saya sendiri belum selesai saya kupas, baru di
permukaan saja.
baca Kita Semua Bersaudara
baca Kita Semua Bersaudara
Ketika saya berada di Gereja,
saya selalu terhempas rasa haru yang dalam. Betapa tidak, saya dan mereka yang
di Gereja yang mengundang saya untuk bicara, sesungguhnya sedang merobek-robek
baju kebanggaan agama kami.
Agama buat kami adalah nilai-nilai
spiritual, bukan hanya ritual. Urusan agama adalah urusan kami dengan Tuhan,
sedangkan urusan kami adalah bagaimana berbuat kebaikan kepada sesama manusia,
terlepas apapun bajunya.
Dan yang paling menarik ketika
berada di Gereja, adalah saya bisa memberikan pandangan-pandangan terbaik di
agama saya kepada mereka. Biar mereka tidak melihat Islam dari kacamata
ekstrimis berbaju agama, tetapi minimal lihatlah Islam dari kacamata saya.
“Abang muslim?”.
Tanya seseorang lagi. Saya
biasanya tambah ketawa. Buat saya, konsep “muslim” adalah pencapaian, bukan
klaim semata. Saya sedang berusaha menujunya.
Mungkin saya baru 0,000001 persen
menuju ke muslim. Itu pun baru sebatas klaim, karena yang berhak menilai saya
muslim ataukah kafir, hanya Tuhan semata. Bukan manusia yang lemah dan penuh
dosa.
Setahu saya, mahluk yang pertama
kali di alam semesta mengklaim dirinya sebagai yang paling taat kepada Tuhan,
adalah iblis. Tuhan menguji ketaatannya dengan terciptanya Nabi Adam as, dan
menyuruh iblis tunduk kepadanya.
Iblis menolak keras, karena dia
berasumsi bahwa dialah yang paling mulya dan paling taat beribadah.
baca BERSUARALAH, JANGAN LAGI DIAM
baca BERSUARALAH, JANGAN LAGI DIAM
Itulah kenapa saya menolak
berasumsi seperti iblis, yang mengklaim bahwa dirinya adalah seorang “muslim”.
Jangankan ke tingkat mukmin, menuju muslim saja berat langkahnya.
“Mereka yang bukan saudaramu
dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”, begitu kata Imam Ali dalam
“bisikannya” di setiap renungan saya terhadap konsep kemanusiaan.
Begitu dalam maknanya, membuat
saya ingin terus berjalan mencari diri sendiri yang telah lama hilang dengan
mengunjungi banyak tempat dan manusia.
Saya ingin menghabiskan hidup
seperti secangkir kopi, yang bisa berada dimana saja, tetapi tidak pernah kehilangan
kenikmatannya. Seruput dulu, saudara-saudaraku
dalam kemanusiaan.