![]() |
Bu Risma |
Dulu di Surabaya ada komplek
pelacuran terbesar se Asia Tenggara. Namanya Dolly..
Pelacur di Dolly diperkirakan ada
sekitar 5 ribu orang. Itu hanya pelacur saja, belum termasuk orang2 yang
terlibat di dalamnya seperti mucikari, sales dan lain2. Dolly adalah “kota”
tersendiri di Surabaya dengan ekonomi yang besar.
Sejak dulu, Dolly adalah
peliharaan pejabat2 dan partai di Surabaya. “Uang lendir” di Dolly sangat
menggiurkan.
Perputaran puluhan miliar setiap
hari dan bisa dipastikan miliaran rupiah masuk ke kantong pejabat dan partai
yang memeliharanya. Itu belum termasuk “suara” yang dijual saat pemilihan
Walikota dan Calon Legislatif.
Tapi itu berubah di tahun 2014..
Seorang Walikota Surabaya,
perempuan tangguh bernama Risma, memporak-porandakan Dolly.
Dolly, buat Risma adalah
kemiskinan yang dipelihara. Kemiskinan yang terbalut pelacuran sebagai jualan
banyak pihak, mulai preman, pejabat, anggota partai sampai LSM yang mendapat
uang dari dagangan mereka.
Dan bisa ditebak, Risma melawan
siapa...
Hampir semuanya melawan Risma,
termasuk partainya sendiri. Risma dianggap tidak “memanusiakan” para pelacur.
Risma dianggap tidak “berpihak”
kepada orang miskin dan lemah. Bahkan warga Dolly menggugat Risma trilyunan
rupiah..
Risma bisa saja pura2 menjadi
Robin Hood, seperti pejabat yang sudah2. Pura2 mau berantas Dolly, tapi
sesungguhnya hanya tekanan sementara untuk menaikkan harga setoran ke
kantungnya sambil jualan Pilkada.
Tapi tidak, Risma tidak menjual
kemiskinan. Ia bahkan tidak ingin memeliharanya.
Buatnya, kemiskinan itu harus
diberantas. Dan itu dimulai dari tekad dan niat untuk mengentaskannya, bukan
malah menjadikannya obyek supaya terus berkuasa dengan kata “keberpihakan”.
Risma bukan saja menutup Dolly.
Ia memberi modal dan pelatihan kepada para pelacur2 itu supaya bisa pulang
kampung dan bekerja lebih baik dan halal. Ia meningkatkan taraf hidup para
pelacur yang pada awalnya pasrah dengan kemiskinan yang ada.
Apa perbedaan penataan Dolly
dengan Becak di Jakarta ?
Perbedaannya ada di kata
keberpihakan. Jakarta menganut kata keberpihakan dengan cara memelihara
kemiskinan. Sedangkan bu Risma menganut kata keberpihakan dengan konsep
pengentasan.
Sama2 berpihak, tapi beda cara.
Yang memelihara, tentu urusannya dengan suara. Sedangkan yang mengentaskan,
urusannya dengan manusia.
Ada orang yang terus menerus
menjual kata “orang miskin” dan bangga dengan predikat pembela, tapi
sesungguhnya tidak melakukan apa2 selain terus mempertahankan kondisi yang ada.
Orang miskin dan bodoh hanyalah
obyek saja. “Sudah takdirnya mereka begitu, jangan diganggu..” adalah konsep
pemikiran yang sangat zolim, seakan2 mereka tidak perlu dibantu untuk
meningkatkan taraf hidup mereka.
Tidak mudah menjadi seorang Risma
pada waktu itu. Karena ia punya konsep dan program ke depan terhadap penataan
kota dan manusia.
Pemimpin yang bodoh adalah
pemimpin yang bahkan tidak punya visi, hanya berusaha menjaga apa yang sudah
ada bahkan memeliharanya, karena ia tidak punya kemampuan lain selain hanya menjual
isu2 lama..
Ah, jadi kangen pulang ke
Surabaya sungkem sama ibuku yang membanggakan warganya itu...
Seruputtt..