![]() |
Kehidupan |
Saya dulu punya pekerja rumah
tangga..
Dia anak orang gak punya dan
meminta kerja. Saya bilang, “Saya mau nerima kamu, asal kamu kembali sekolah..”
Dia mau dan akhirnya saya
sekolahkan dia sampai kuliah. Sekarang dia sudah menjadi guru dan sudah
berkeluarga. Hubungan kami baik layaknya saudara.
Saya tidak pernah tertarik ketika
melihat teman-teman punya seorang pekerja tumah tangga sampai tua dan berkata dengan
bangga, “Wah dia awet disini, kami sudah dianggap keluarganya sendiri..”
Buat saya adalah kebanggaan
tersendiri ketika berhasil mengangkat derajat seseorang dari garis hidupnya yang
miskin menjadi seseorang yang dipandang.
Saya hanya fasilitator, begitu
juga negara.
Kita yang berpunya harus menjadi
“tangan” yang kuat untuk membantu seseorang. Memang prosesnya tidak pernah
sebentar. Pekerja rumah tangga saya itu butuh waktu berpuluh tahun lamanya
untuk mencapai tingkatan sosialnya sekarang ini.
Begitu juga yang dilakukan
Jokowi. Ia sering dibilang “pembohong” oleh kaum pemakan Popmie, bahwa ia tidak
melaksanakan janji-janji kampanyenya yaitu mengentaskan kemiskinan.
Pengentasan kemiskinan - bagi
Jokowi - bukan kemudian menjaga seseorang itu tetap pada situasinya. Yang tukang
becak, selamanya jadi tukang becak. Yang PKL selamanya harus jadi PKL. Itu
namanya bukan “mengentaskan”, itu “memelihara” kemiskinan.
Jokowi ingin menaikkan taraf
hidup bangsa Indonesia. Ia membangun kebutuhan utama negeri dulu, yaitu
infrastruktur. Untuk apa infrastruktur berbentuk jalan, bandara, listrik, tol
laut dan segala macam itu? Tentu untuk membangun perekonomian disana.
Diharapkan ketika daerah2 sudah
dibangun dan ekonominya menggeliat, warga miskin kota bisa pulang ke kampung
halamannya dan menaikkan derajatnya di sana.
Tentu tidak mudah dan waktunya
tidak sebentar. Butuh tahunan untuk membangun infrastruktur sesuai yang
diharapkan. Belum lagi membina mental supaya manusia mau merubah mentalnya
sebagai pekerja, bukan sebagai penadah.
Kalau Jokowi mau “menjual”
kemiskinan, dia bisa saja. Cukup bangun kota2 besar supaya kelihatan wartawan,
ngapain bangun Papua di pelosok sana ?
Kalau Jokowi mau belagak Robin
Hood, dia juga bisa. Cukup bicara mendayu2 bahwa dia perduli pada orang miskin,
tapi apa yang dia lakukan tetap tidak merubah keadaan..
Merubah itu tidak mudah. Bahkan
sejarah Nabi-Nabi pun ketika ingin merubah mental suatu bangsa, mereka harus
melalui jalan yang terjal dan penuh cacian.
Seharusnya begitulah seorang
pemimpin, mempunyai visi ke depan. Dari visi, lahirlah program-program. Semua
bersifat kemajuan..
Bukan kemudian malah mendandani
kemiskinan, dengan aksesoris2 seperti tukang becak dilatih genjot, becak
diganti becak listrik. Mau didandani apapun - jika begitu - tukang becak
selamanya akan tetap menjadi tukang becak...
Jadi apakah tidak zolim, pemimpin
yang punya kekuatan untuk menjadi fasilitator perubahan nasib seseorang, malah
tidak berbuat apa-apa selain memanfaatkan kemiskinan sebagai ALAT untuk menuju
kursi kekuasaan?
Kita belajar banyak dari manusia
dan peristiwa.
Puluhan tahun dibodohi dengan isu
yang sama, dibohongi dengan kasus yang sama, tapi masih banyak orang yang mau
diberikan janji meski dia tahu tidak ada satu langkahpun yang dilakukan untuk
menjadikannya terbukti..
Jika para pembodoh itu satu waktu
menang, negeri kita akan mundur kembali sekian puluh tahun kebelakang..
Saya menolak. Dan saya akan terus
berjuang..
Seruput kopinya untuk mereka yang
sudah tercerahkan...