![]() |
Presiden Jokowi dan Habib Lutfi bin Yahya |
“Jokowi, stop kriminalisasi ulama!”.
Begitulah propanda yang mereka
bangun ketika banyak “para pengaku ulama” yang terjerat kasus - mulai dari
fitnah ada PKI di istana sampai orasi provokatif yang menggelisahkan massa..
Sejak pemerintah membubarkan HTI
melalui Perppu Ormas, fitnah kepada Jokowi semakin massif. HTI berlindung
dibalik label “Islam” dan “ulama” untuk menyerang Jokowi. Ustad-ustad mereka
menyebar dan masuk melalui ormas2 Islam di negeri ini yang seideologi.
Framing dibangun di masjid-masjid, di
majelis-majelis bahwa pemerintahan Jokowi dikelilingi banyak orang PKI. Dan framing
itu membentuk sebuah gambar besar bahwa yang bisa melawannya adalah “umat
muslim” - muslim versi mereka.
Karena itulah banyak orang awam
yang membenci Jokowi tanpa tahu alasan sebenarnya. Apapun yang dilakukan Jokowi
salah, “wong dia PKI dan PKI musuh Islam..” begitulah bangunan propaganda yang
merasuk dan merusak otak mereka.
Buat saya yang menarik adalah
cara Jokowi melawan semua propaganda itu..
Ia tidak asyik memainkan media
sosial untuk menyatakan bahwa ia bukan PKI, seperti yang dilakukan Donald Trump
misalnya.
Ia tidak asyik memainkan citra
bahwa ia Islam dengan sibuk menyelenggarakan shalat subuh berjamaah misalnya.
Atau memainkan isu-isu agama supaya ia terlihat sebagai “Islam yang kaffah”.
Jokowi memainkan peran sebagai
dirinya sendiri yang memang sejak dulu ia lakukan. Kedekatannya dengan para
ulama waktu ia masih menjabat sebagai Walikota dan Gubernur DKI bukan karena ia
harus mencitrakan dirinya, tetapi ia gemar meminta nasihat dari mereka yang
“sudah selesai dengan dirinya”.
Ingat ketika Jokowi sedang
gamang, saat ia baru saja dilantik menjadi Presiden, kepada siapa ia meminta petunjuk
dan nasihat yang benar?
Ya, dia mengunjungi Buya Syafii
Maarif, seorang ulama dan cendekiawan dari Muhammadiyah. Bahkan ada cerita,
disaat sedang bingung memilih langkah apa yang harus dilakukan, Jokowi sering
diam-diam mengunjungi Buya sekedar berkeluh kesah dan mendengarkan nasihat dari
seorang yang dia anggap bijaksana.
Jokowi jelas tidak akan minta
pendapat dari “ulama” yang tidak jelas keulamaannya. Dia punya standar dan
kriteria yang tinggi untuk seorang ulama. Bukan ulama abal-abal yang cukup punya
massa, tereak sana-sini, eh nyangkutnya di masalah selangkangan juga.
Habib Luthfi Pekalongan adalah
salah satu ulama yang dihormati Jokowi. Habib Luthfi jelas adalah orang yang
sudah selesai dengan bab NKRI dan dirinya sendiri.
Habib Luthfi adalah ikon Banser
NU di Jawa Tengah. Habib Luthfi selalu menekankan kepada para anggota Banser
untuk terus melawan radikalisme agama dan menjaga negeri ini. Usia beliau sudah
70 tahun, tetapi semangat beliau untuk terus berjuang tidak pernah padam.
Karena itulah Jokowi menyempatkan
diri datang ketika diundang oleh Habib Luthfi untuk membuka Muktamar ke XII
Jatman, sebuah badan otonom NU, di Pekalongan.
Dan tahu apa pesan Habib Luthfi
didepan ribuan jamaahnya?. “NKRI harga mati!!”. Sebuah pesan sederhana namun
sangat kuat maknanya..
Begitulah cara Jokowi melawan
propaganda pada dirinya bahwa ia mengkriminalisasi ulama. Tanpa banyak curhat,
tanpa penuh ketegangan, tanpa riuh di media, Jokowi sudah menyelesaikan perang
tanpa orang yang menyerangnya sadar bahwa ia sudah mati duluan.
Saya saran pak Jokowi, bagaimana
kalau sekali-kali ke Turki? Kan disana ada “ulama” yang gak pulang-pulang
sedang jalan-jalan? Kalau jadi kesana, saya titip pertanyaan satu saja. “Apa
beliau sudah ketemu sama bidannya Yesus?”.
Dah, gitu aja.. titip cium tangan
Habib Luthfi, pakde. Semoga beliau sehat-sehat saja..
Seruput dulu kopinya.