![]() |
Bendungan |
“Tanah kita ini luas. Masak gak
bisa dijadikan lahan pertanian supaya bisa swasembada pangan? Kan itu janji
Jokowi, kemana aja dia??”
Seorang teman begitu ngotot
menyalahkan Jokowi dengan janjinya yang -menurutnya- tidak kesampaian.
Mungkin memang semua di dunia ini
harus salah Jokowi, begitu juga ketika anaknya bulak balik cepirit karena salah
makan.
Yang tidak dipahami temanku ini,
bahwa masalah pangan bukan hanya masalah tanah saja tapi banyak faktor yang
mendukung. Mulai dari distribusi pupuk, teknologi pertanian dan yang terutama
adalah infrastruktur.
Infrastruktur??
Iya, infrastruktur. Contohnya
pengairan.
Meski tanahnya berjuta hektar,
jika pengairannya tidak sempurna dan akhirnya tandus, trus mau ditanam apaan?
Apa mau nanam nunggu hujan dulu? Trus kapan panennya?
Jokowi masuk ke akar masalah
dulu. Oke, masalah pengairan. Bagaimana kalau kita bikin bendungan??
Ada 65 bendungan yang menjadi
master plan Jokowi untuk dibangun di seluruh Indonesia. Dan separuhnya rencana
akan diselesaikan sampai tahun 2019.
Apa yang dilakukan Jokowi bisa
dibilang sebagai revolusi di bidang pangan. Pada era 10 tahun pemerintahan SBY
saja, baru 16 bendungan yang dibangun. Itupun mangkrak dan diselesaikan pada
era Jokowi.
Dan tahun 2017, tujuh bendungan
raksasa sudah diselesaikannya. Diantara bendungan Nipah di Madura, bendungan
Titab di Bali dan banyak lagi.
Bukan hanya bendungan atau waduk
raksasa yang jadi targetnya. Tapi juga embung atau cekungan untuk menampung
air.
Sejak 2015-2017, sudah ada lebih
dari 800 embung yang dibangun di seluruh Indonesia, besar dan kecil. Ratusan
triliun rupiah dikucurkan Jokowi untuk pembangunan bendung dan embung untuk
menuju kedaulatan pangan dan ketahanan air.
Dan tujuan dari pembangunan itu
semua, tentu untuk meningkatkan produktivitas pertanian sehingga masa panen
diharapkan bisa 3 kali dalam setahun.
Sesudah semua infrastruktur itu
selesai, barulah tanah menjadi subur dan bisa dicocok tanam. Sesudah itu masuk
program selanjutnya, yaitu peningkatan alat-alat teknologi di bidang pertanian
sehingga petani terangkat kesejahteraan dan status sosialnya.
Lah gimana alat pertanian yang
modern bisa kerja kalau tanahnya aja kering kerontang?
Ada fase atau tahapan yang harus
dilalui jika ingin mencapai target kedaulatan atau swasembada. Tidak bisa “Sim
salabim prok prok jadi apa??”. Presiden bukan pak Tarno tukang sulap yang
selesai manggung cengar cengir trus dibayar.
Temanku sulit memahami ini karena
ia terbiasa apa-apa tersedia di meja. Ia sulit memahami bahwa makanan di meja
pun harus melalui proses belanja, mencuci sayuran, memotong, membumbui, memasak
baru bisa dimakan.
Layaknya anak manja, kalau tidak
tersedia makanan di mejanya saat dia baru bangun tidur jam 12 siang sambil
kucek-kucek mata, lalu teriak, “Ini pasti salah Jokowi karena aku lapar!!!”
Buat dia solusi dari masalah
dirinya hanyalah khilafah. Khilafah baginya seperti tuna sarden yang buka
kalengnya langsung di lep mentah-mentah. Kurang enak sih, tapi cukuplah perut
kenyang.
Tentu kita harus ikut menjaga
program besar ini dengan mengawal pencetus ide besarnya.
Karena bisa saja kalau Jokowi
tidak terpilih lagi, ada orang baru yang sibuk mengutak-atik apa yang ia sudah
kerjakan hanya supaya si orang baru tercitra sebagai pemimpin yang
berkepihakan. Sedangkan kita kembali tidur siang dan mimpi indah untuk menjadi
negara besar.
“Maksud lu, si entuh ya Den yang
suka ngutak ngatik kerjaan orang sebelumnya tapi gada program baru ke depan?”
Kuseruput kopi cepat-cepat.
Seseorang itu tidak boleh disebut namanya karena nanti tudingannya bisa jadi
“anti Islam”.
Seruputttt... Kaburrrr...
#sambilngembattahuisinganggur