![]() |
Kami Bersama Polri |
Saya menemukan tulisan seseorang
yang mempertanyakan kinerja BIN dan Densus 88 karena "kecolongan"
rentetan bom di Surabaya..
Saya sebaliknya, justru
mengapresiasi kinerja aparat dalam memburu para teroris ini.
Seandainya yang menulis tahu,
betapa besarnya bom yang meledak di Bali tahun 2002 lalu. Bom Bali pertama
menewaskan lebih dari 200 orang. Itulah kemenangan teroris terbesar di negeri
ini.
Bom Bali kedua di tahun 2005,
menewaskan lebih dari 20 orang dan hampir 200 orang luka2. Sedangkan Bom di
hotel JW Marriot di Jakarta tahun 2003, menewaskan 12 orang dan ratusan luka.
Tahun 2009, bom meledak lagi di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta
menewaskan 9 orang.
Jika melihat rekam jejaknya,
terlihat bahwa aparat kepolisian dan intelijen sudah berhasil meminimalisir
ledakan bom di Indonesia. Perburuan anggota2 teroris dimana2 - termasuk
pengetatan pengawasan material pembuat bom - membuat teroris sudah sulit untuk
kembali membuat bom berukuran besar.
Banyak peristiwa dimana Densus 88
berhasil membekuk para calon bomber di daerah2, hanya beritanya kurang
maksimal. Bahkan pasca pemboman di Surabaya, Densus kembali menembak mati 4
orang teroris dan menyita puluhan bom yang siap diledakkan di Surabaya.
Hanya memang, sel-sel teroris ini
sudah menyebar secara luas sejak lama. Tidak adanya kewenangan aparat untuk
melakukan pencegahan karena terganjal UU, membuat aparat selain harus
berhadapan dengan teroris, juga harus berhadapan dengan kelompok elit yang
selalu berteriak HAM.
Terjadinya rentetan bom bunuh
diri di Surabaya, menunjukkan bahwa sel tidur teroris jauh lebih banyak dari
jumlah anggota kepolisian. Karena itu diperlukan operasi gabungan TNI dan Polri
untuk mulai menyisir calon2 bomber yang sudah siap meledakkan negeri ini.
Dan lagi, melihat bahwa pelaku
bom ini adalah satu anggota keluarga - yang di Sidoarjo juga - bisa
disimpulkan, sekarang sudah sulit mencari "pengantin" bom secara
individu. Jadi mencuci otak satu keluarga, bisa dianggap efektif untuk
menyebarkan bom di beberapa titik sekaligus.
Kenapa aksi bom di Surabaya,
meski beruntun tapi tidak menimbulkan korban yang lebih besar ?
Karena teroris sudah mulai panik.
Mereka diburu dimana2, sehingga harus sesegera mungkin meledakkan diri meski
tanpa perencanaan yang matang seperti dulu yang dilakukan Imam Samudra, otak
bom Bali pertama atau Dr Azahari.
Aksi sporadis menunjukkan bahwa
sudah sulit teroris berkoordinasi secara intens dan terpimpin. Akhirnya yang
mereka lakukan hanya menunjuk sembarang target dan meledakkan diri disana.
Bahkan saking sulitnya mencari
bahan pembuat bom, para teroris mengunakan senjata apa saja untuk melakukan
aksinya.
Yang terbaru di Mapolda Riau,
beberapa orang teroris menyerang polisi hanya dengan Samurai.
Tidak ada hasil kerja yang
sempurna, tetapi minimal aparat kita sudah mampu mencegah negeri ini seperti
Irak dan Afghanistan, yang hampir setiap bulan ada 2-3 kali bom bunuh diri di
Mall dan Pasar, yang membawa korban jiwa jauh lebih besar..
Bahkan AS dan Inggris ingin
belajar penanganan terorisme di Indonesia. Karena menurut mereka, Indonesia
seharusnya sejak lama bisa seperti Irak, Suriah dan Afghanistan, tapi ternyata
Indonesia mampu menangani negeri ini dengan sebaik2nya..
Karena itu, kita dukung kinerja
aparat Kepolisian, TNI, BIN dan Densus 88, karena tanpa kerja mereka yang
melelahkan, mungkin bapak kita, ibu kita, anak2 kita, saudara kita, teman kita,
atau bahkan kita sendiri, sekarang sudah menjadi korban bom dari teroris.
Bersyukur jauh lebih baik
daripada sibuk menyerang kinerja lembaga yang sudah bekerja sangat keras untuk
menjaga kita semua. Dan berterimakasih pada mereka adalah tingkat rasa syukur
kita masih selamat dari ancaman yang sangat nyata..
Seruput kopinya dulu, Polri dan
semua yang bekerja keras melindungi kami.