![]() |
Aksi Bom Takjil |
"Islam bukan
teroris..."
Begitulah pesan yang hendak
disampaikan oleh beberapa orang atau komunitas yang diwakili wanita bercadar di
beberapa daerah. Mereka ingin membangun trend -terinspirasi dari model yang
sama di negara barat- dengan kertas bertuliskan "PELUK SAYA JIKA ANDA MERASA
NYAMAN".
![]() |
Aksi Peluk Saya |
Model beginian seperti sebuah
gerakan terkomando pasca kejadian di Mako Brimob dan bom bunuh diri di
Surabaya.
Apakah saya harus simpati? Ini
pertanyaannya..
Saya harus menjawab. Pertama,
Islam -apalagi di Indonesia- tidak identik dengan cadar atau celana cingkrang
bagi lelaki. Puluhan tahun, model Islam tradisional dengan sarung dan kerudung
sudah mewarnai wajah negeri ini.
Dan selama itu tidak ada model
bom bunuh diri yang dilakukan oleh Islam tradisional, yang diwakili NU dan
Muhammadiyah. Islam tampil dengan wajah ramah, guyup dan toleran. Jarang sekali
terdengar keributan antar agama selama itu. Keributan antar agama sering
terjadi baru-baru ini saja, ketika ideologi wahabi -Islam fundamental- sudah
merasuk di Indonesia.
Jadi, mengklaim bahwa cadar
adalah identik dengan Islam dan dipakai sebagai aksesoris dengan caption
"Islam bukan teroris.." jelas salah besar. Seharusnya yang benar,
"Cadar bukan berarti teroris..."
Yang kedua. Meraih simpati
boleh-boleh saja. Tetapi apakah mereka yang bercadar dan sekarang ada di jalan-jalan sambil memegang kertas "Peluk saya.." juga berempati pada korban bom
teroris di Surabaya yang dilakukan oleh seorang wanita bercadar?
Sampai sekarang, saya belum
menemukan permintaan maaf kepada para korban bom -baik dari pihak polisi
maupun korban dari agama Kristen- yang dilakukan oleh komunitas wanita
bercadar yang membawa kertas di dada itu.
Lebih tepat -jika mereka sadar-
seharusnya para wanita bercadar itu membawa kertas di dada dengan tulisan
besar, "MAAFKAN KAMI, WAHAI UMAT KRISTEN, JIKA SALAH SATU DARI KAMI SUDAH
BERBUAT YANG MERUGIKAN KALIAN.."
Itu baru namanya empati, atau
merasakan keadaan emosional keluarga korban bom. Bukan malah mencari simpati
sendiri seolah-olah dituding sebagai penyebab masalah. Toh, selama ini juga
tidak ada yang menuding bahwa semua wanita bercadar adalah bomber. Dan sekali
lagi, jangan bawa-bawa nama "Islam" karena Islam tidak identik dengan
cadar..
Apakah begitu sulit meminta maaf
terhadap kejadian bom bunuh diri itu ? Mungkin iya, karena itu lebih mudah
mencari simpati daripada harus berempati. Padahal meminta maaf adalah bukti
kebesaran jiwa, sedangkan mencari simpati adalah bukti dari melepaskan diri
dari kesalahan..
Apalagi di tambah di Malang,
komunitas wanita bercadar yang sedang membagi takjil mencoba -entah melucu
atau menyindir- dengan membawa kertas, "BOMB TAKJIL".
Sangat tidak lucu. Menunjukkan
masih ada kesombongan tingkat tinggi yang diperankan karena tidak memikirkan
perasaan korban bom bunuh diri.
Mau cuci tangan seolah-olah tidak
ada kejadian apa-apa? Ah, itu sangat menyakitkan perasaan umat lain yang
menjadi korban..
Ini mirip dengan ulah ormas agama
anarkis itu, yang sehabis mentungin orang dengan bahasa "Razia",
terus bagi-bagi takjil seolah "tidak terjadi apa-apa".
Seharusnya para wanita bercadar
yang mengatas-namakan Islam itu belajar dari umat Kristen, yang dengan tanpa
sungkan memeluk mereka. Umat Kristen punya prinsip kuat "memaafkan"
dalam ajaran kasih mereka.
Saya sendiri juga gak yakin,
seandainya posisinya dibalik, seorang dengan aksesoris biarawati yang memegang
kertas di dada "Peluk saya.." berdiri di pinggir jalan, maukah, hai
kalian wanita bercadar yang di pinggir jalan itu, memeluk mereka dengan kasih ?
Atau sulit karena masih menganggap mereka kafir?
Semoga apa yang terjadi menjadi
pelajaran buat kita terutama pada bulan Ramadhan ini sebagai wadah untuk
merefleksi diri. "Sudah benarkah apa yang kita lakukan?" atau
"Sudah berakhlakkah kita seperti yang diajarkan oleh sang pembawa pesan?"
Selayaknya kita memahami bahwa
berempati menjadikan kita manusia yang lebih dewasa daripada sekedar mencari
simpati seperti seorang anak kecil yang "tidak mau mengakui jika sudah
berbuat salah".
Seruput kopinya?
Kayaknya sudah sahur. Keliling
dulu ah... Sahur.. Sahurrrr...
#sebuahcatatan