![]() |
Toleransi |
Tiba-tiba ada sms masuk ke saya.
"Saya Dedi Mulyadi"Katanya memperkenalkan diri. Saya ketawa, teman mana lagi ini yang bercanda.
Saya balas, "Dedi Mulyadi
setahu saya Bupati. Ini Dedi Mulyadi yang mana ?". Jawabnya, "Iya,
itu saya. Saya telepon ya.."
Wow, surprise juga saya mendapat
sms dari seseorang yang selama ini saya baca perjalanan karirnya, terutama
ketika ia harus melawan FPI di Purwakarta.
Buat saya, Kang Dedi Mulyadi dulu
adalah simbol perlawanan melawan ormas berbaju agama. Belum ada satupun kepala
daerah yang berani melawan mereka waktu itu, tetapi Dedi Mulyadi sudah
mengalami banyak kisah.
Ia bahkan pernah berhadap-hadapan
dengan gerombolan FPI waktu di TIM Jakarta. "Sungguh berani.." begitu
gumam saya ketika membaca berita itu.
Diapun menelepon saya. Saya
terima dan kami tertawa-tawa. Beliau ternyata juga suka membaca tulisan saya
tentang toleransi dan kebhinekaan yang di Indonesia pada saat itu mahal
harganya.
"Datang ke Purwakarta, ya.
Kebetulan saya ada acara mengundang anak-anak lintas agama. Ini program yang
sudah lama saya lakukan, supaya mereka saling mengenal bahwa perbedaan itu
indah. Biar tidak sempit pemahamannya.." Katanya.
Sayapun menjanjikan akan datang..
Sesampai di Purwakarta, saya
gagap karena baru pertama kali ke kota itu. Untung saja di jemput di suatu
tempat sehingga gak perlu nyasar kemana-mana.
Dan ketika sampai di Pendopo
Kabupaten, tiba-tiba mata saya berat karena menahan air yang menggenang.
Duhai, indahnya pemandangan di
pendopo ketika seorang bhiksu, seorang Romo Katolik, seorang ustad duduk
bersama dan saling ngobrol tanpa sekat. Di tengah ada seorang yang saya sangat
kenal wajahnya di koran dan majalah, sang Bupati Dedi Mulyadi, tersenyum
lebar..
Saya duduk agak menjauh dari
pendopo hanya supaya bisa menyaksikan pemandangan itu lebih luas. Dan Dedi
Mulyadi dengan cengkok sunda khasnya, bergurau sambil mengenalkan ke anak-anak
SMP dan SMA lintas agama, kemudian mereka saling mengenal doa masing-masing
agama.
Ah, sekian tahun saya menulis
tentang kejamnya situasi Suriah dan kegelisahan saya akan pola yang mirip di
Indonesia, tiba-tiba pemandangan sejuk bak surga terhampar di depan mata.
Ya, Tuhan..
Di Kabupaten kecil, jauh dari
kota besar, ternyata nilai-nilai toleransi itu dijaga kuat. Dilindungi dan
diperkenalkan. Dan anak-anak yang polos itu, saling mengenalkan diri, membuka
cakrawala berfikir mereka menjadi luas, bahwa ada yang berbeda dari kita, tapi
sejatinya kita sama..
Pada titik itulah, saya jatuh
cinta pada Kang Dedi. Saya menamakan Purwakarta sebagai desa Ghalia. Desa
Ghalia adalah desa kecil di komik Asterix, yang terus melawan ditengah kepungan
kerajaan Roma. Seperti Purwakarta yang terus melawan ditengah kepungan
gerombolan intoleran yang meluas di Jawa Barat.
"Jawa Barat butuh dia, bukan
dia yang butuh Jawa Barat.." Begitu kata hatiku.
"Hanya dia yang bisa
menyelesaikan masalah intoleransi di provinsi yang mendapat predikat tertinggi
di bidang intoleran ini. Dia punya vaksinnya. Dia yang bisa
menyembuhkannya.."
Harapan saya pun membuncah. Dan
sesudah dua tahun saya bertemu Dedi Mulyadi, kami tetap akrab karena punya
ideologi yang sama, yaitu kecintaan pada tanah dimana kita dilahirkan bersama.
Ah, kang Dedi..
Kapan kita ngopi lagi dan
ceritakan semua mimpi yang kau rangkai tentang negeri ini ? Aku siap
mendengarkan dan menuangkannya dengan indah dalam sebuah tulisan. Tulisan
berjiwa yang merangkai kata dari seorang pejuang..
Salam hormatku untukmu selalu.